Social Icons

Pages

Senin, 21 Mei 2012

ISLAM EKSKLUSIF DAN INKLUSIF


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT. Yang mana berkat limpahan rahmat dan innayah-Nya. Makalah metodologi studi islam ini dapat terselesaikan, meskipun dengan berbagai kekurangan mulai dari pendahuluan, pembahsan hingga kesimpulan.
Pembahasan mengenai “Hubungan eksklusuf dan inklusif, islamisasi sains dan purlisme agama–agama” akan menjadi slah satu pembahasan yang akan kita bahas pada diskusi kali ini mulai dari definisi-definisinya hingga jabaran-jabarannya.
Akhirnya semoga makalah ini bisa bermanfaat sehingga bisa menambah wawasan serta pengetahuan bagi kita semua. Aminnnn.. 






Metro,     Mei 2012

Penyusun




BAB I

PENDAHULUAN


1.      Latar Belakang

 Eksklusif dan Inkusif , untuk memetakan persepsi muslim terhadap hubungan islam-kristen di indonesia “islam komprehensif” dan “ islam reduksionis”.

 Upaya menggagas islamisasi sains, dengan demikian dapat dipahami dalam kerangka revolusi sains menurut Thomas Kuhn, yaitu bahwa perkembangan sains dimulai dari krisis paradigma ilmu normal, diikuti oleh pengajuan paradigma baru dan periode pengembangan sains normal berbasis paradigma baru ini, kemudian diikuti oleh krisis lagi dan seterusnya. Kerangka krisis paradigma sebagai perangkat revolusi atau pembaruan ilmu ini juga harus diberlakukan atas ilmu-ilmu agama yang telah diturunkan dari Al Qur’an dan Hadits.
Pluralisme agama telah menjadi salah satu wacana kontemporer yang sering dibicarakan akhir-akhir abad 20, khususnya di Indonesia. Wacana ini sebenarnya ingin menjembatani hubungan antaragama yang seringkali terjadi disharmonis dengan mengatasnamakan agama, diantaranya kekerasan sesama umat beragama, maupun kekerasan antarumat beragama. Islam adalah agama universal yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, persamaan hak dan mengakui adanya pluralisme agama.

2.      Rumusan Masalah

1.      Apa islam ekskulsif dan inklusif
2.      Apa sebenarnya islamisasi sains?
3.      Apakah yang dimaksud pluralisme agama-agama?


3.      Maksud dan Tujuan
Dengan adanya makalah ini penulis ingin sekali mengajak para pembaca  agar untuk dapat lebih memahami dan mengetahui tentang materi ini yaitu islam eksklusif dan inklusif serta islamisasi sains dan pluralisme agama-agama bisa bertambah, baik mengenai ajarannya maupun sikap yang diajarkan didalam pelajaran tersebut


BAB II
PEMBAHASAN

A.    EKSKLUSIF DAN INKLUSIF
Isalmi eklusif dan inklusif menurut Dr.K.h. Didin hafidhuddin, M,Sc. Islam merupakan agama yang sangat inklusif, dan bukan merupakan ajaran yang bersifat eksklusif. Tapi inksklusifitas yang bermaksud perbedaan agama yang di pahami oleh kelompok liberal.”[1] Inksklusifitas islam yang dimaksud adalah agama yang universal dan dapat diterima oleh semua orang yang berakal sehat tanpa memperdulikan latar belakang, suku bangsa, setatus sosial dan atribut keduniawian lainya.
Islam ekslusif dan inklusif adalah untuk menetapkan persepsi muslim terhadap masalah hubungan islam dan kristen di indonesia. Saya mengajukan “muslim komprehensif” dan “muslim reduksionis”
Fatimah mecontohkan eksklusif dan inklusif di judul buku “Muslim-Chritian relation in the new order indonesia: the exclusivist and inclusivist muslim.”[2] Sebaai contoh, ia mnyebut organisasi eksklusif di indonesia adalah dewan dakwah islamiyah di indonesia, (DDII), komite indonesia untuk solidaritas duniah islam, orang-orang yang membela islam di cap eksklusif.
Diantara ciri-ciri kaum eksklusif, menurut fatimah yaitu:
1.      Merekah yang menerapkan model penafsiran literal terhadap al-qur’an dan sunah dan masa lalu karena mengunakan pendekatan literal, maka ijtihad bukanlah hal yang sentral kerangka berfikir mereka
2.      Merekah berpendapat bahwa keselamatan yang bisa dicapai melalui agama islam.bagi merekah, islam adalah agama final yang datang untuk mengoreksi agama-agama lain. Karena itu merekah menggugat otentisitas kitab suci agama lain.
Sedangkan yang dimaksud kaum inklusif, memiliki ciri:
1.      Karena merekah memahami agama islam sebagai agama yang berkembang, maka merekah menerapkan metode kontekstual dalam memahami al-qur’an dan sunah, yang memerlukan teks-teks asas dalam islam dan ijtihad berperan sentral dalam pemikiran merekah.
2.      Kaum inklusif memandang, islam adalah agama terbalik bagi merekah:namun merekah berpendapat bahwa keselamatan di luar agama islam adalah hal yang mungkin.
Jika kita cermati sejumlah tulisan Nurcholish madjid dan budy munawar rahmat, merekah sudah masuk kata gori pluralis yang menyatakan semua agama-agama benar dan sebagai jalan yang sah menuju tuhan dan iti bukan inkusif lagi,karena penganut paham inklusif seperti yang di atas,

A.     ISLAMISASI  SAINS
Islamasasi sains adalah pandangan yang menganggap ilmu atau hanya sebagai alat (instrumen).artinya, sains terutama teknologi sekedar alat untuk mencapai sebuah tujuan, sains itu mempunyai dua makna. jika kita menganggap bahwa apa yang kita saksikan dalam fenomena sains adalah “sebuah kenyataan yang sempurn,” maka kita akan melihaat sains sebagai kebeneran indrawi. Sain juga pernah mengukuhkan bahwa kebeneran mutlak adalah yang didasarkan pada panca- indrawi saja.
Dalam konteks ini , abu bakar siraj ad-din mengatakan, “if a symbol is sometthing in a lower ‘known and wonted’ domain which the traveller considenrs not only for its own sake, but also and above all in oder to have an intuitive glinpse of the ‘universal and trange’ reality whict corresponds to it in each of the hidden domain.”[3] pandangan ini, tentu saja sesuai dengan al-qur’an yang mengatakan bahwa, “sesngauhnya allah tidaak segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu”
Dibawah ini, kita akan membicarakan “tanda-tanda” yang merupakan petunjuk kepada adanya “kesatuan wujud” itu, dan menjadi ruang pembuka hubungan yang lebih harmonis antara sains dan agama. Kita catatkan terlebih dahulu tetang cara membaca “tanda-tanda”itu, “dan proposisi-proposisi” pejalanan kita (mengikuti tesis-tesis dari huston smith).
I.                   Sesuatu itu tidak seperti yang kita lihat pada lahiriahnya,
II.                Selain dari yang kita lihat pada sisi lahirnya, terdapat “sesuatu yang lebih dari itu.”
III.             “sesuatu yang lebih” itu, dapat diketahui dengan cara yang bisa dilakukan.
IV.             Walaupun begitu, ia bisa diketahui dengan cara-cara yang memadai untuk itu, cara yang luar biasa.
V.                Cara-cara tersebut memerlukan penyuburan (cultivation) atau penyamaian.
VI.             Dan cara itu, juga memerlukan alat.

TESIS I.
Sesuatu itu tidak seperti apa yang kita lihat pada lahiriahnya
            Salah satu dari tugas sains adalah menunjukan hakikat dari kenyataan. Apa yang palina menakjubkan dari sains moderen, adalah kemampuanya dalam menujukkan bahwa kenyataan tidak seperti apa yang kita lihat secara langsung. Jika kita mengatakan bahwa meja ini bersifat pejal, maka sains akan mengatakan bahwa,pada hakikatnya tidak begitu, sebab. Jika kita bisa melihat atau mengecilkan meja sampai tingkat elrktron,maka yang akan kita lihat itu adalah ruang itu kosong
Inilah contohnya bahwa setiap saat, indrawi kita “mengambarkan sesuatu”tetapi indra kita telah di rancang sedemikian rupa sehingga tidak memberitaukan kepada kita perkara yang sebenarnya.
Keterangan ini, juga mengingatkan kita kepada enekdot sufi yang sering membuat dua lapisan bacaan: antara yang “terlahat” dan “tak terlihat.”atau dalam filsafat india yang menyatakan maya. “Duniah ini adalah khayalan” frithjof scohuon mengatakan: spiritual perspective and the human facts.[4] bahwa, “hidup ini adalah perjalanan satu maimpi, satu kesadaran, satu ego dari maimpi keseluruhanya.

TESIS II.
Selain dari yang kita lihat pada lahiriahnya, terdapat “sesuatu yang lebih” dan “itu” menakjubkan.
            Di atas, kita sudah melihat bahwa sifat yang sebenarnya dari “sesuatu itu” secara radiakal “berbeda” dari yang tampak. Mereka-para saintis dan agamawan-juga menyutujui bahwa “yang berbeda” itu, lebih tinggi dari segala yang kita alami dalam penglihatan sehari-hari. Sains juga ilmu yang berurusan dengan kuantitas.maka istilah “sesuatu yang melebihi” itu dalam sains dinyatakan bahwa dalam bentuk angka-angka. Misalnya, kita mendapatkan bahwa cahaya dari sebuah galasi yang agax besar,dan paling dekat dengan bumi.

TESIS III.
“Sesuatu yang lebih” itu, tidak dapat diketahui dengan cara yang biasa dilakukan.
            Biasanya, para sainstis (ilmuwan) mengambarkan atas besarnya yang suka dibayangkan di atas, dengan kata “mengagumkan” (siapa yang bisa membayangkan angka bermilyar-milyar di atas). Tetapi sebenernya, ini baru permulaan, yang belum apa-apa. Karena, kajian sains belakangan hanya mengemukakan sesuatu yang tidak dapat diterka pikiran kita. Inilah yang terjadi pada teori relativitas dan mekanika kuantum.Sementara itu, kuantum-yang merupakan ilmu fisika tentand duniah mikro, subatomik-merombak total pandangan tetang materi. Asumsi lama,
            Pada tahun 1951, david bohm melihat aspeks lain dari percobaan einstein podolsky dan rosen. Sambil melanjutkan keraguan einstein,david bohm mendapatkan prinsip itu muncul hanya karena tidak mampuan kita untuk menjelaskan ynag lebih mendasar dari teori kuantum. Bohm menyebut tingkatan kenyataan artikel itu sebagai, explicate orde, sememtara realitas dasar merupakan sumber-sumber itu diistilaahkan Bohm sebagai implicate order..[5]

TESIS IV.
“Kelebihan” itu tidak bisa diketahui dengan car biasa, meskipun begiu, ia bisa di ketahui dengan cara-cara yang luar biasa.
            Apa yangkita lihat dari perkembangan sains baru ini, menurut kita “berjalan lebih jauh.” Pada mekanika kuantum, sebagai mana dikatakan schiling, dalam the new consciousneesin sciece and relrgion, bahwa, “kesimpulan...akan paradoks materi gelombamng dicapai dengan memakai simbol matematika semata (tentang makanika kuantum).
            Begitu jagalah dengan apa yang di sebut “visi mistik,” sehinhga keduanya sains dan mistik, mempunyai pesan yang sama, yaitu:
Pertama: visi alam yang baru itu adalah suatu yang terlalu hebat untuk diungkapkan dengan kata-kata.
Kedua: visi ini menunjukan bahwa eksistensis itu di sifatkan sebagai perpaduan yang tadak lansung.
Ketiga: penemuan visi ini menghidupkan rasa yang bahagia.
Keempat: rasa bahagia ini bukan suatu kebetulan, tetapi ia adalah akibat logis dari penyebab yang menyebabkannya:yaitu pencapaian kesatuan wujud, visi ketakjuban akan merndahkan kepada pengalaman mistikal biasanya yang sering diangap sebagai prasaan.

TESIS V.
Cara-cara mengetahui yang luar biasa itu, memerlukan penyuburan (cultivation) atau penyemaian.
Apa yang penting dai realitas sains adalah perlunya kesunguhan dalam dedikasi. Untuk menjadi ahli orang fisika, sekarang ini memerlukan waktu yang lama. Tiori relativitas bisa dihapal beberapa menit, tetapa kajian bertahun-tahun tetang teori ini, belum menjamin penguasaanya atas teori tersebut. Sehinga kesunguhan didalam sains, menyerupai dedikasi para wali dan orang yang bercinta:setelah mencapai kebersihan diri, maka pengalaman mistikal menjadi mudah dan biasa.

TESIS VI.
Pengetahuan mendalam memerlukan alat.
            Baik sains maupun agama, keduanya memerlukan alat. Sains misalnya memerlukan teleskop, kamera, spektroskop dan sebagainya. Mistik pun juga mempunyai alat, yang terdiri dua macam. Untuk masyarakat yang buta huruf, ada dan dikenal mitos,sedangkan bagi penduduk yang berperadapan maju, ada dan dikenal kitab suci (sacred texs). Pada masyarakat yang tidak didatanga nabi, ia bisa mencapai kebenaran dengan melalui kesadaran diri yang mendalam, karena “sifat ketuhanan ada dalam diri manusia.” Kata huston smith,” hukum, peraturan dan prinsip penghidupan yang diwahyukan adalah ibarat membongkar rahasia langit, dan mengumumkan keagunggan Tuhan, tetapa didalam agama, alat-alat khusus juga bisa dipaka’’[6].  

B.      PLURALISME AGAMA-AGAMA
Pluralisme agama adalah sebuah konsep yang mempunyai makna yang luas, berkaitan dengan penerimaan terhadap agama-agama yang berbeda, dan dipergunakan dalam cara yang berlain-lainan pula:
I.        Sebagai pandangan dunia yang menyatakan bahwa agama seseorang bukanlah sumber satu-satunya yang eksklusif bagi kebenaran, dan dengan demikian di dalam agama-agama lain pun dapat ditemukan, setidak-tidaknya, suatu kebenaran dan nilai-nilai yang benar.
  1. Sebagai penerimaan atas konsep bahwa dua atau lebih agama yang sama-sama memiliki klaim-klaim kebenaran yang eksklusif sama-sama sahih. Pendapat ini seringkali menekankan aspek-aspek bersama yang terdapat dalam agama-agama.
  2. Kadang-kadang juga digunakan sebagai sinonim untuk ekumenisme, yakni upaya untuk mempromosikan suatu tingkat kesatuan, kerja sama, dan pemahaman yang lebih baik antar agama-agama atau berbagai denominasi dalam satu agama.
  3. Dan sebagai sinonim untuk toleransi agama, yang merupakan prasyarat untuk ko-eksistensi harmonis antara berbagai pemeluk agama ataupun denominasi yang berbeda-beda.
Paham pluralisme agama tantangan keras dari semua agama. Selain islam dan vatikan, di kalangan kristen protestan di indonesia juga muncul penentang berat tentang paham ini[7].
I.                   Islam dan Pluralisme agama
Ada satu fakta yang tidak dapat diingkari, bahwa terminologi pluralisme atau dalam bahasa arabnya, “al-ta’addudiyyah”, tidaklah di kenal secara populer dan tidak banyak dipakai di kalangan Islam kecuali sejak kurang lebih dua dakade terakhir abad ke-20 yang lalu. Yaitu ketika terjadi perkembangan penting dalam kebijakan internasional barat yang baru memasuku sebuah fase yang dijuluki Muhammad ‘imrah sebagai “marhalat al-ijtiyah” (fase pembinasaan) yakni sebuah perkembangan yang prisipnya tergurat dan tergambar jelas dalam upaya barat yang habis-habisan guna menjajahkan ideologi modernnya yang di anggap universal, seperti demokrasi, pluralisme, HAM dan pasar bebas, dan mengekspornya untuk konsumsi luar dalam rangka mencapai berbagai kepentingannya yang sangat beragam. Suatu kebijakan yang telah di kemas atas dasar “superioritas” ras dan kultur barat, serta penghinaan terhadap segala sesuatu yang bukan barat, Islam khususnya, dengan berbagai macam tuduhan yang menyakitkan, seperti intoleran, anti-demokrasi, fundamentalis dan sebagainya. Maka sebagai respons terhadap perkembangan politis baru ini, masalah “pluralisme” mulai mencuat dann menjadi concern kalangan cerdik-cedekia Islam, yang pada gilirannya menjadi komoditas paling laku di pasar pemikiran Arab Islam kontempoler. Barangkali bukti yang paling nyata mengenai hal ini adalah maraknya karya, tulisan dan kajian ilmiah yang mengupas topik ini dengan volume yang terus naik dalam periode ini. Sebagai karya tersebut merupakan kertas kerja yang di bentangkan dalam seminar dan konferensi khusus tentang topik ini, sebagian lain artikel dalam priodikal (majalah dan jurnak ilmiah),dan sebagian kecil lainnya bagian dalam buku-buku. 
II.                Pemikiran pluralisme keagamaan dan teologi agama-agam
Pluralisme tidakk dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beranea ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi, bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak boleh di pahami sekadar sebagai ‘kebaikan negatif’ (negatif good), hanya di lihat dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisisme (to keep fanaticism at bay). Pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban” (genuine engagement of diversities within the bonds of civility)[8]. Bahkan pluralisme mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang di hasilkannya. Dalam kitap suci justru di sebutkan bahwa Allah menciptakan mekanisme pengawasan dan pengimbangan antara sesama manusia guna memelihara keutuhan bumi, dan merupakan salah satu wujud kemurahan tuhan yang melimpah kepada umat manusia. “seandainya Allah tidak mengimbangi segolongan manusia dengan segolongan yang lain, maka pastilah bumi hancur; namun Allah mempunyai kemurahan yang melimpah kepada seluruh alam.” (QS. Al – Baqoroh : 251)[9]
Kutipan panjang pembuka di atas menegaskan adanya masalah besar dalam kehidupn beragama yang ditandai oleh kenyataan pluralisme dewasa ini. Dan salah satu masalah besar dari paham pluralisme yang telah menyulut perdebatan abadi sepanjang masa menyangkut masalah keslamatan adalah bagaimana suatu teologi dari suatu agama mendefinisikan dirinya di tengah agama-agama lain dalam bahasa john lyden, seorang ahli agama-agama, “apa yang seseorang pikirkan mengenai agama lain di bandingkan agama sendiri ?”. sehingga berkaittan dengan semakin berkembangnya pemahaman mengenai pluralisme dan toleransi agama-agama, berkembanglah suatu paham “teologi agama-agama” yang menekankan semakin pentingnya dewasa ini untuk dapat “berteologi daam konteks agama-agama,” untuk suatu tujuan.
III.             Implikasi dan konsekuensi pluralisme agama
Perlu diakui bahwa pengkatagorian teori-teori pluralisme agama hanya kedalam empat tren diatas tadi barangkali terkesan sedikit simplifikasi. Sebab, pada kenyataannya fenomena pluralisme agama sangat kompleks dan tidak sederhana yang kita bayangkan. Namun jika kita ingin benar-benar membincangkannya dan mengkaji hakikatnya sebagai sebuah fenomena yang hidup di alam nyata. Kemudian berusaha membedah, menganalisa dan menangkap implikasi-implikasinya, dan kemudian menentukan sikap terhadapnya secara tepat dan akurat. Maka merujuk kepada peta penyederhanaan realitas tidak saja absah secara logis tapi juga urgen secara metodologis. Sebab tanpa bangunan pemikiran semacam ini, yang terjadi hanyalah apa yang disebut William Jamesa bloomin ‘buzzin’ confusion”, dimana tidak bisa di fahami kecuali kebingungan (confusion) itu sendiri.
Jika kita perhatikan peta fenomena pluralisme agama (religious pluralism) sebagaimana termanifestasi dalam tren-trennya yang dibentangkan dalam bab terdahulu bahwa semua agama sama secara serius, seksama, kritis,dan obyektif, maka kita akan segera dikagetkan dengan berbagai masalah dan isu mendasar yang berimplikasi sangat berbahaya bagi manusia dan kehidupan keagamaannya secara umum. Sebagian implikasi teori atau faham pluralisme ini erat menyangkut isu-isu yang bersifat teoretis, epistemologis dan metodologis, dan sebagian lagi erat menyangkut isu-isu HAM (hak-hak asasi manusia) khususnya kebebasan beragama (religious freedom).

  
BAB III
KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa, Islam Eksklusif dan Inklusif adalah agama-agama sebagai penerimaan atas konsep bahwa dua atau lebih agama yang sama-sama memiliki kebenaran yang inklusif yang sama-sama benar, dan dengan demikian di dalam agama-agama lainpun dapat ditemukan, setidak-tadaknya suatu kebenaran dan nilai-nilai yang benar.
Islamisasi sains yaitu pandangan yang menganggap ilmu atau sains hanya sebagai alat (instrumen). Artinya: sains terutama alat teknologi sekedar untuk mencapai tujuan, islami sains adalah sebuah konsep dasar yang berkaitan dengan orang muslim untuk mengembalikan islam menuju peradapan yang berjaya,
Puralisme agama-agama adalah sebuah konsep yang mempunyai makna yang luas, yang berkaitan dengan penerimaan terhadap agama-agama yang berbeda, dan di pergunakan dalam cara yang berlain-lain pula.kadang-kadang juga digunakan sebagai sinonim, yakni upaya untuk mempromosikan suatu tingkat kesatuan.



[1] dr.k.h. didin hafidhuddin,M,Sc. “Islam aplikatif” ( jakarta gema insani. Th, 2003) hl 147-148.
[2] Fatimah, judul,”muslim-cristian relations in the new order indonesia: the Exclusivits and Inclusivits muslim’ perspective”. Th 2004 hal.21 38
[3] Dalam bahasa teknisnya, simbol adalah suatu yang di ketahui memeng lebih rendah dari pesan yang hendak disampaikan, dan orang peziarah tahu bahwa simbol tidak hanya untuk simbol itu sendiri,tetapi juga di atas segalanya, simbol itu perlu mendapatkan sebuah penglihatkan intuitif universal yang gelap, lihat, abu bakar siraj-din, the book certianti,hal. 50-51.
[4] Frithjof shcuon, spiritual perspectives and the human facts. Kehidupan ini adalah perjalanan suatu mimpi, (jakarta,parmadina, thn 2001) hal.60-69.
[5] Kelanjutan pandangan David Bohm ini dapat dilihat di artikel dalam buku ini “new age dan passing over”: zairah religus di tengah pluralitas agama-agama, (jakarta, parmadina, thn 2001) hal.31-54.
[6] Huson Smith, forgetten trunh, the common vision of the lorld’s religion, pada bab “the place of science,” (new york: Harper San Francisco, 1992), h. 96-117.
[7] Dr. Stevri Indra lumintang,buku theologi abu-abu pluralisme agama.malang ,Gandum perss,2004
[8] Munawar Budhy, Islam Pluralisme, pemikiran pluralisme keagamaan dan teologi agama-agama (Jakarta: Paramadina, 2001), hal. 31.
[9] Nurcholish madjid,”masyarakat madani dan investasi demokrasi: tantangan dan kemungkinan, republika 10 Agustus 1999.

2 komentar:

 
Blogger Templates