PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Perkawinan
atau pernikahan adalah: “ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita
dalam sustu rumah tangga berdasarkan kepada tuntutan agama”. Nikah adalah salah
sattu sendi pokok pergaulan masyarakat. Oleh karena itu agama memerintah kepada
umatnya untuk melangsungkan pernikahan bagi yang sudah mampu, sehingga mala
petaka yang diakibatkan oleh perbuatan terlarang dapat dihindari. Sutu
pemberian khusus yang wajib berupa uang atau barang yang diserahkan mempelai
laki-laki kepada mempelai perempuan ketika atau akibat dari berlangsungnya akad
nikah ini yang di maksud dengan mahar. Mahar yaitu pemberian yang diberikan
oleh mempelai laki-laki dalam waktu akad nikah yang diberikan kepada mempelai
perempuan.
B. RUMUSAN MASALAH
Dari penjelasan
di atas dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Apa
yang dimaksud dengan mahar ?
2.
Dasar hukum apa yang berkaitan dengan mahar ?
3.
Apa
syarat-syarat mahar ?
4.
Apa
macam-macam mahar ?
BAB
II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Mahar
Mahar
(arab : المهر =
maskawin), adalah pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai
laki-laki kepada mempelai perempuan, ketika dilangsungkan akad nikah.mahar
merupakan salah satu unsur terpenting dalam proses pernikahan. Demikian
dikemukakan dalam Ensiklopedi Hukum Islam.[1]
Kamus
Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan mahar itu dengan “pemberian wajib berupa
uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika
dilangsungkan akad nikah”. Definisi ini kelihatan nya sesuai dengan tradisi
yang berlaku di indonesia bahwa mahar itu diserahkan ketika berlangsungnya akad
nikah.
Mahar
itu dalam bahasa arab disebut dengan delapan nama, yaitu : mahar, shadaq,
nihlah, faridhah, hiba’, ujr, ‘uqar, dan alaiq. Keseluruhan kat tersebut
mengandung arti pemberian wajibsebagai imbalan dari sesuatu yang diterima.[2]
Para
ulama mazhab mengemukakan beberapa definisi, yaitu:
1. Mazhab Hanafi (sebagiannya)
mendefinisikan, bahwa:” mahar sebagai sejumlah harta yang menjadi hak istri,
karena akad perkawinan, atau disebabkan terjadi senggama dengan sesungguhnya”.
2. Mazhab Maliki mendefinisikannya: “sebagai
sesuatu yang menjadikan istri halal untuk digauli”.
3. Mazhab Hambali mengemukakan, bahwa
mahar. “sebagai imbalan suatu perkawinan, baik disebutkan secara jelas dalam
akad nikah, ditentukan setelah akad dengan persetujuan kedua belah pihak,
maupun ditentukan oleh hakim”. [3]
Dalam
tradisi arab sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab fiqih, mahar itu
meskipun wajib, namun tidak mesti diserahkan waktu berlangsungnya akad nikah
dalam arti boleh diberikan waktu akad nikah dan boleh pula sesudah
berlangsungnya akad nikah itu.
Bila
pemberian itu dilakukan secara sukarela diluar akad nikah tidak disebut mahar
atau dengan arti pemberian biasa, baik sebelum akad nikah atau setelah
selesainya pelaksanaan akad nikah. Demikian pula pemberian yang diberikan
mempelai laki-laki dalam waktu akad nikah namun tidak kepada mempelai
perempuan, tidak disebut mahar.[4]
2. Dasar Hukum Mahar
Dasar
wajibnya menyerahkan mahar itu ditetapkan dalam Al-Qur’an. Sebagai landasan
ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan tentang mahar yaitu Surat An-Nisa ayat 4,
19, 21, dan surat Al-Baqarah ayat 237. Berikut surat An-Nisa ayat 4 yang
bunyinya:
Rasulullah
pun pernah mengatakan kepada seseorang yang ingin kawin : “berilah maharnya, sekalipun berbentuk
cincin dari besi”. (HR. Bkkhari, Muslim dan Ahmad bin Hanbali)
Pada
umumnya di Indonesia yang menjadi mahar adalah seperangkat alat shalat dan Al-Qur’an. Disamping itu ada pula perhiasan
emas dan benda lainnya berdasarkan kesepakatan calon istri dan calon
suami.
Ulama fiqih
menyatakan, bahwa walaupun mahar wajib diberikan kepada istri, tetapi mahar itu
tidak termasuk rukun nikah atau syarat akibat dari suatu akad nikah. Kendatipun
suatu perkawinan tanpa mahar ulama fiqih tetap menyatakan, bahwa perkawinan
tetap sah. Sebagai landasannya adalah
firman Allah, surat Al-Baqarah ayat 236 :
Tidak ada kewajiban
membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum
kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan
hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu
menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian
menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang
berbuat kebajikan.
Jumhur
ulama berpendapat, bawa mahar tetap wajib diberikan kepada istrinya, yang
jumlah dan bentuknya diserahkan kepada pemufakatan bersama antara calon
mempelai wanita dan pria. [5]
Mengenai ukuran besar kecilnya atau sedikit banyaknya mahar yang
diberikan pihak laki-laki, islam tidak menetapkannya dengan tegas, akena adanya
perbedaan kaya dan miskin, lapang dan sempitnya rizki. Pemberian mahar terutama
didasarkan kepada nilai dan manfaat yang terkandung di dalamnya. Karenanya
islam menyerahkan masalah ini kepada masing-masing sesuai dengan kemampuan dan
adat yang berlaku, dengan syariat tidak berbentuk sesuatu yang mendatangkan
madharat, membahayakan atau berasal dari usaha yang haram.[6]
3. Syarat-syarat Mahar
Mahar
yang diberikan kepada calon istri, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut
:
a. Harta/bendanya berharga
Tidak sah mahar yang
dengan yang tidak memiliki harga apalagi sedikit, walaupun tidak ada ketentuan
banyak atau sedikitnya mahar. Akan tetapi, apabila mahar sedikit tetapi
memiliki nilai, maka tetap sah.
b. Barangnya suci dan bisa diambil manfaat
Tidak sah mahar dengan
khamar, babi, atau darah, karena semua itu haram dan tidak berharga.
c. Barangnya bukan barang gasab
Gasab
artinya mengambil barang milik orang lain tanpa seizinnya, namun tidak
bermaksud untuk memilikinya karena berniat untuk mengembalikan kelak.
Memberikan mahar dengan barang hasil
gasab, adalah tidak sah, tetapi akadnya tetap sah.
d. Bukan barang yang tidak jelas keadaannya
Tidak sah mahar dengan
memberikan barang yang tidak jelas keadaannya, atau tidak disebutkan jenisnya. [7]
4. Macam-macam Mahar
Ulama
fiqih sepakat bahwa mahar itu ada dua macam, yaitu mahar musamma dan mahar mitsil
(sepadan).
a. Mahar musamma
Mahar musamma yaitu
mahar yang sudah disebut atau dijanjikan kadar dan besarnya ketika akad nikah.
Atau mahar yang dinyatakan kadarnya pada waktu akad nikah.
Ulama fiqih sepakat bahwa dalam pelaksanaanya, mahar musamma
harus diberikan secara penuh apabila :
1) Telah bercampur (bersenggama). Tentang
hal ini Allah SWT berfirman:
“ Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain , sedang
kamu Telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka
janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. apakah kamu
akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan
(menanggung) dosa yang nyata ? “(an- nisa: 20)
2)
Salah satu dari suami istri meninggal. Demikian menurut ijma’.
Mahar
musamma juga wajib dibayar seluruhnya apabila suami telah bercampur dengan
istri, dan ternyata telah rusak dengan sebab-sebab tertentu, seperti ternyata
istrinya mahram sendiri, atau dikira perawan ternyata janda, atau hamil dari
bekas suami lama. Akan tetapi, kalau istri dicerai sebelum bercampur, hanya
wajib dibayar setengahnya, berdasarkan firman Allah SWT :
“ Jika kamu menceraikan Isteri-isterimu sebelum
kamu bercampur dengan mereka, padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan
maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang Telah kamu tentukan itu,
kecuali jika Isteri-isterimu itu mema'afkan atau dima'afkan oleh orang yang
memegang ikatan nikah, dan pema'afan kamu itu lebih dekat kepada takwa. dan
janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
melihat segala apa yang kamu kerjakan”.(al baqarah: 237)
b.
Mahar
mitsil (sepadan)
Mahar mitsil yaitu mahar yang tidak disebut
besar kadarnya pada saat sebelum ataupun ketika terjadi pernikahan. Atau mahar
yang diukur (sepadan) dengan mahar yang pernah diterima oleh keluarga terdekat,
agak jauh dari tetangga sekitarnya, dengan mengingat status sosial, kecantikan
dan sebagainya.
Bila terjadi demikian (mahar itu tidak disebut
besar kadarnya pada saat sebelum atau ketika terjadi pernikahan), maka mahar
itu mengikuti maharnya saudara perempuan pengantin wanita(bibi, bude, anak
perempuan bibi/bude). Apabila tidak ada, maka mitsil itu beralih dengan ukuran
wanita lain yang sederajat dengan dia.
Maha mitsil juga terjadi dalam keadaan berikut:
1)
Apabila
tidak disebutkan kadar mahar dan besarnya ketika berlangsung akad nikah,
kemudian suami telah bercampur dengan istri, atau meninggal sebelum bercampur.
2)
Jika
mahar musamma belum dibayar sedangkan suami telah bercampur dengan istri dan
ternyata nikahnya tidak sah.
Nikah yang tidak disebutkan dan tidak
ditetapkan maharnya disebut nikah tafwidh. Hal ini menurut jumhur ulama
dibolehkan. Firman Allah SWT:
“ Tidak ada kewajiban membayar
(mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu
bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah
kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu menurut
kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian
menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang
berbuat kebajikan”.(al
baqarah: 236)
Ayat ini menunjukkan bahwa seorang suami boleh
menceraikan istrinya sebelum digauli dan belum juga ditetapkan jumlah mahar
tertentu kepada istrinya itu. Dalam hal
ini, maka istri berhak menerima mahar mitsil.[8]
BAB
III
KESIMPULAN
Ø Mahar yaitu pemberian wajib berupa uang
atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika
dilangsungkan akad nikah.
Ø Dasar wajibnya menyerahkan mahar itu
ditetapkan dalam Al-Qur’an. Sebagai landasan ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan
tentang mahar yaitu Surat An-Nisa ayat 4, 19, 21, dan surat Al-Baqarah ayat 237.
Ø Mahar yang diberikan kepada calon istri,
harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Harta/bendanya berharga
b. Barangnya suci dan bisa diambil manfaat
c. Barangnya bukan barang gasab
d. Bukan barang yang tidak jelas keadaannya
Ø Macam-macam mahar
a. Mahar
musamma
b. Mahar mitsil
(sepadan)
DAFTAR PUSTAKA
Ali Hasan, M, “ Pedoman Hidup Berumah Tangga
dalam Islam” , Jakarta: Siraja
Prenada Media Group, 2006
Syarifuddin, Amir, “ Hukum
Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqih Munakahat dan UU Perkawinan”, Jakarta: Kencana, 2009
Djedjen
Zainuddin, Suparta, “ FIQIH MADRASAH ALIYAH Kelas Dua “, Jakarta: PT. KARYA THOHA PUTRA, 2003
Slamet
Abidin ,Aminuddin , “Fiqih Munakahat 1”,
Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 1999
Rahman
Ghazaly, Abd., “FIQIH MUNAKAHAT”, Jakarta: kencana,
2006
[1] M. Ali Hasan, Pedoman Hidup
Berumah Tangga dalam Islam,(jakarta, siraja prenada media group,2006)cet.2
hal 113
[2] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan
Islam di Indonesia antara Fiqih Munakahat dan UU Perkawinan,
(jakarta:kencana.2009)cet.3 hal 84
[3] Ibid, M. Ali Hasan hal
113-114
[4] Ibid, Amir Syarifuddin, hal 85
[5] Ibid, Ali Hasan, hal 116-118
[6] Djedjen Zainuddin, Suparta, “ FIQIH MADRASAH ALIYAH Kelas Dua “.
(jakarta, PT KARYA THOHA PUTRA, 2003) hal 190
[7] Slamet Abidin,Aminuddin. Fiqih Munakahat 1, (Bandung, CV PUSTAKA
SETIA,1999)cet 1, hal 108-109
[8] Abd. Rahman Ghazaly, “FIQIH MUNAKAHAT”, (Jakarta: kencana, 2006) cet
2, hal 92-95
cma" gan
BalasHapusUsefull :)
BalasHapus