Social Icons

Pages

Senin, 08 Oktober 2012

IJARAH



         KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang mana berkat rahmat dan karunianya Makalah “Fiqh Muamalah” ini bisa terselesaikan, meskipun dengan berbagai macam kekurangan mulai dari pendahuluan yang meliputi latar belakang, rumusan masalah serta maksud dan tujuan hingga pembahasan dan kesimpulan. Untuk itu kritik dan sarannya  sangat diharapkan sehingga ke depan bisa menjadi lebih baik lagi.
Salah satu bentuk kegiatan manusia dalam lapangan muamalah ialah ijarah (sewa-menyewa). Ijarah (sewa-menyewa) dalam arti luas bermakna suatu akad yang berisi penukaran manfaat sesuatu dengan jalan memberikan imbalan dalam jumlah tertentu. Pembahasan mengenai “Hukum sewa yang berakhir dengan kepemilikan” akan menjadi bahasan yang akan di bahas dalam makalah ini mulai dari pengertian dan dasar hukumnya hingga syarat dan rukun nya.
Akhirnya semoga makalah ini bisa bermanfaat dan berguna bagi kita semua, sehingga bisa menambah wawasan bagi para pembacanya.

Metro, 5 Mei 2012
Penyusun


DAFTAR ISI





BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Bila dilihat dari realita yang ada, rasanya mustahil manusia bisa hidup berkecukupan tanpa hidup berijarah (sewa-menyewa) dengan manusia lain. Karena itu, boleh dikatakan bahwa pada dasarnya ijarah itu adalah salah satu bentuk aktifitas antara dua pihak yang berakad guna meringankan salah satu pihak atau saling meringankan, serta termasuk salah satu bentuk tolong-menolong yang diajarkan agama dan ijarah merupakan salah satu  jalan untuk memenuhi hajat manusia. Untuk itu merupakan suatu ilmu yang sangat bermanfaat apabila pembahasan dalam makalah ini benar-benar bisa kita kaji dan pahami untuk menambah  pengetahuan dan wawasan kita semua.
Pembahasan mengenai “Hukum Sewa yang Berakhir Kepemilikan” akan menjadi bahasan yang akan dibahas dalam makalah ini, mulai dari pengertian dan dasar-dasar hukumnya hingga syarat dan rukun-rukunnya dengan harapan pembahasan dalam makalah ini bisa berguna dan bermanfaat bagi kita semua.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan hukum sewa yang berakhir kepemilikan?
2.      Apakah  syarat dan dan rukun sewa yang berakhir kepemilikan?

C.    Maksud dan Tujuan
Salah satu kegiatan manusia dalam lapangan muamalah ialah ijarah. Sewa-menyewa (ijarah)) sebagaimana perjanjian lainnya, merupakan perjanjian yang bersifat konsensual (kesepakatan). Perjanjian itu mempunyai kekuatan hukum, yaitu pada saat sewa-menyewa berlangsung. Apabila akad sudah berlangsung, pihak yang  menyewakan (mu’ajjir) wajib menyerahkan kan barang (ma’jur) kepada penyewa (musta’jir). Pembahasan mengenai “hukum sewa yang berakhir kepemilikan” akan menjadi bahasan yang akan di bahas dan dijabarkan dalam makalah ini dengan tujuan kita bisa lebih memahami pembahasan-pembahasan tersebut.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi, Syarat Dan Rukun Sewa-Menyewa.

1.      Definisi
Sewa-menyewa dalam bahasa arab diistilahkan dengan al-ijarah. Menurut pengertian hukum islam, sewa-menyewa diartikan sebagai suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian ( Sayyid Sabiq, 13, 1988:15).
Dari pengertian diatas terlihat bahwa yang dimaksud sewa-menyewa adalah mengambil manfaat dari suatu benda. Jadi, dalam hal ini bendanya tidak berkurang sama sekali. Dengan kata lain, terjadinya sewa-menyewa, yang berpindah hanyalah manfaat dari benda yang disewakan tersebut, dalam hal ini dapat berupa manfaat barang seperti kendaraan, rumah dan manfaat karya.
Di dalam istilah hukum islam, orang yang menyewakan di sebut mu’ajjir sedangkan orang yang menyewa disebut musta’jir, benda yang disewakan diistilahkan ma’jur dan uang sewa atau imbalan atas pemakaian manfaat barang disebut ajran atau ujrah[1]
2.      Syarat Sewa-Menyewa
1.      Orang yang menyewa dan yang menyewakan disyaratkan :
a)      Baligh (dewasa)
b)      Berakal (orang gila tidak sah melakukan sewa-menyewa)
c)      Dengan kehendak sendiri (tidak dipaksa)
2.      Benda yang disewakan disyaratkan :
a)      Benda itu dapat diambil manfaatnya
b)      Benda itu dikeahui jenisnya, keadaanya, sifatnya, dan jangka waktu disewakanya
3.       Sewa (upah) harus diketahui secara jelas kadarnya.
Sewa-menyewa (ijarah) berakir atau batal jika benda yang disewakan itu rusak/hilang sehingga tidak dapat diambil manfaatnya Jika rusak disebabkan kecerobohan atau kelalaian   penyewa, maka penyewa dapat dituntut ganti rugi atas kerusakan itu. Sebaliknya jika penyewa sudah memelihara barang sewaan dengan sebaik-baiknya tetapi benda itu rusak, maka penyawa tidak wajib  maka penyewa tidak wajib mengganti. Sewa-menyewa juga berakhir jika telah habis masa yang dijalankan. Apabila salah satu pihak meninggal dunia, maka aqad sewa-menyewa tidak batal dan tetap berlaku dan urusan selanjutnya diteruskan oleh ahli warisnya sampai batas waktu sesuai dengan pernjanjian itu berakhir, kecuali ditentukan lain dalm perjanjian.
3.      Rukun Sewa-Menyewa
Menurut ulama Hanafiyah, rukun ijarah adalah ijab dan qabul, antara lain dengan menggunakan kalimat: al-ijarah, al-isti’jar, al-ikhtira’, dan al-ikra.
Sedangkan menurut Ibnu Juzay dalam kitabnya Al-Qowanin Al-Fiqhiyah menerangkan tentang rukun ijarah, yakni :
وهي جائزة عند الجمهور وأركانها أربعة : (الأول) المستأجر . (الثاني) الأجير .. ويشترط فيهما ما يشترط في المتبايعين ويكره أن يؤاجر المسلم نفسه من كافر . (الثالث) الأجرة . (الرابع) المنفعة ويشترط فيها ما يشترط في الثمن والمثمن على الجملة . وأما على التفصيل فأما الأجرة ففيها مسألتان .
Artinya:
“Ijarah itu diperbolehkan menurut kesepakatan para ulama, adapun rukun ijarah yakni:
1.      Orang yang menyewa
2.      Orang Yang menyewakan. Dan disyaratkan  bagi keduanya sebagaimana disyaratkan dalam transaksi jual beli, dan dimakruhkan orang muslim menyewakan kepada orang kafir
3.      Uang sewa
4.      Adanya manfaat dari barang sewa tersebut. Dan disyaratkan dalam manfaat sebagaimana disyaratkan dalam jual beli tentang harga dan barang yang dihargai”.[2]
Adapun menurut jumhur ulama, rukun ijarah ada (4) yaitu sebagai berikut:
1.      ‘Aqid (orang yang akad).
2.      Shighat akad.
3.      Ujrah (upah)
4.      Manfaat




















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat diambil kesimpulan yaitu sebagai berikut:
Transaksi yang disebut dengan al-ijarah al-muntahia bit-tamlik (IMB) adalah sejenis perpaduan antara kontrak jul beli dan sewa atau lebih tepatnya akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang ditangan si penyewa.
untuk sahnya sewa-menyewa, pertama kali harus dilihat terlebih dahulu orang yang melakukan perjanjian sewa-menyewa tersebut. Apakah kedua belah pihak telah memenuhi syarat untuk melakukan perjanjian pada umumnya. Diantara syarat sah sewa-menyewa tersebut adalah sebagai berikut:
a)      masing-masing pihak rela melakukan perjanjian sewa-menyewa.
b)      Harus jelas dan terang mengenai objek yang diperjanjikan.
c)      Objek sewa-menyewa dapat digunakan sesuai peruntukannya.
d)     Objek sewa-menyewa dapat diserahkan
e)      Kemanfaatan objek yang diperjanjikan adalah yang dibolehkan dalam agama.
Menurut ulama hanafiyah, rukun ijarah adalah ijab dan qabul, antara lain dengan menggunakan kalimat: al-ijarah, al-isti’jar, al-iktira’, dan al-ikra.
Adapun menurut jumhur ulama, rukun ijarah ada (4) yaitu sebagai berikut:
1.      ‘Aqid (orang yang akad).
2.      Shighat akad.
3.      Ujrah (upah)
4.      Manfaat







DAFTAR PUSTAKA

Suwardi K. Lubis, 2004, Hukum Ekonomi Islam, Sinar Grafika, Jakarta.
www. blog.uin-malang.ac.id/enasmi/2012/04/21/الإجاره-sewa-menyewa-2



[1] Suhrawardi K. Lubis. Hukum Ekonomi Islam. (Sinar Grafika, Jakarta: 2004). Cet. 3. Hal. 144.

[2] www. blog.uin-malang.ac.id/enasmi/2012/04/21/الإجاره-sewa-menyewa-2

Senin, 03 September 2012

tujuan dalam pernikahan



Dalam masalah perkawinan, Islam telah berbicara banyak. Dari mulai bagaimana mencari kriteria calon calon pendamping hidup, hingga bagaimana memperlakukannya kala resmi menjadi sang penyejuk hati. Islam menuntunnya.
Begitu pula Islam mengajarkan bagaimana mewujudkan sebuah pesta pernikahan yang meriah, namun tetap mendapatkan berkah dan tidak melanggar tuntunan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula dengan pernikahan yang sederhana namun tetap penuh dengan pesona. Melalui makalah yang singkat ini insyaallah kami akan membahas perkawinan menurut hukum islam.
 Perkahwinan atau nikah menurut bahasa ialah berkumpul dan bercampur. Menurut istilah syarak pula ialah ijab dan qabul (‘aqad) yang menghalalkan persetubuhan antara lelaki dan perempuan yang diucapkan oleh kata-kata yang menunjukkan nikah, menurut peraturan yang ditentukan oleh Islam.
 Perkataan zawaj digunakan di dalam al-Quran bermaksud pasangan dalam penggunaannya perkataan ini bermaksud perkahwinan Allah s.w.t. menjadikan manusia itu berpasang-pasangan, menghalalkan perkahwinan dan mengharamkan zina.
 Persoalan perkawinan adalah persoalan yang selalu aktual dan selalu menarik untuk dibicarakan, karena persoalan ini bukan hanya menyangkut tabiat dan hajat hidup manusia yang asasi saja tetapi juga menyentuh suatu lembaga yang luhur dan sentral yaitu rumah tangga. Luhur, karena lembaga ini merupakan benteng bagi pertahanan martabat manusia dan nilai-nilai ahlaq yang luhur dan sentral. Perkawinan bukanlah persoalan kecil dan sepele, tapi merupakan persoalan penting dan besar. ‘Aqad nikah (perkawinan) adalah sebagai suatu perjanjian yang kokoh dan suci.

Perkawinan adalah Fitrah Kemanusiaan

Agama Islam adalah agama fithrah, dan manusia diciptakan Allah Ta’ala cocok dengan fitrah ini, karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala menyuruh manusia menghadapkan diri ke agama fithrah agar tidak terjadi penyelewengan dan penyimpangan. Sehingga manusia berjalan di atas fithrahnya. Perkawinan adalah fitrah kemanusiaan, maka dari itu Islam menganjurkan untuk nikah, karena nikah merupakan gharizah insaniyah (naluri kemanusiaan).

A. Islam Menganjurkan Nikah

Islam telah menjadikan ikatan perkawinan yang sah berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai satu-satunya sarana untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang sangat asasi, dan sarana untuk membina keluarga yang Islami. Penghargaan Islam terhadap ikatan perkawinan besar sekali, sampai-sampai ikatan itu ditetapkan sebanding dengan separuh agama. Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu berkata : “Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :

“Artinya : Barangsiapa menikah, maka ia telah melengkapi separuh dari agamanya. Dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yang separuhnya lagi” .

B. Islam Tidak Menyukai Membujang

Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu berkata : “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk nikah dan melarang kami membujang dengan larangan yang keras”. Dan beliau bersabda :
“Artinya : Nikahilah perempuan yang banyak anak dan penyayang. Karena aku akan berbangga dengan banyaknya umatku dihadapan para Nabi kelak di hari kiamat.”

Pernah suatu ketika tiga orang shahabat datang bertanya kepada istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang peribadatan beliau, kemudian setelah diterangkan, masing-masing ingin meningkatkan peribadatan mereka. Salah seorang berkata: Adapun saya, akan puasa sepanjang masa tanpa putus. Dan yang lain berkata: Adapun saya akan menjauhi wanita, saya tidak akan kawin selamanya …. Ketika hal itu didengar oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau keluar seraya bersabda :

“Artinya : Benarkah kalian telah berkata begini dan begitu, sungguh demi Allah, sesungguhnya akulah yang paling takut dan taqwa di antara kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan aku berbuka, aku shalat dan aku juga tidur dan aku juga mengawini perempuan. Maka barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku” .

Kedudukan Perkawinan dalam Islam

• Wajib kepada orang yang mempunyai nafsu yang kuat sehingga bias menjerumuskannya ke lembah maksiat (zina dan sebagainya) sedangkan ia seorang yang mampu.disini mampu bermaksud ia mampu membayar mahar(mas berkahminan/dower) dan mampu nafkah kepada calon isterinya.
• Sunat kepada orang yang mampu tetapi dapat mengawal nafsunya.
• Harus kepada orang yang tidak ada padanya larangan untuk berkahwin dan ini merupakan hukum asal perkawinan
• Makruh kepada orang yang tidak berkemampuan dari segi nafkah batin dan lahir tetapi sekadar tidak memberi kemudaratan kepada isteri.
• Haram kepada orang yang tidak berkempuan untuk memberi nafkah batin dan lahir dan ia sendiri tidak berkuasa (lemah), tidak punya keinginan menikah serta akan menganiaya isteri jika dia menikah.

Tujuan Perkawinan dalam Islam

1. Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia Yang Asasi
Perkawinan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini yaitu dengan aqad nikah (melalui jenjang perkawinan), bukan dengan cara yang amat kotor menjijikan seperti cara-cara orang sekarang ini dengan berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya yang telah menyimpang dan diharamkan oleh Islam.

2. Untuk Membentengi Ahlak Yang Luhur
Sasaran utama dari disyari’atkannya perkawinan dalam Islam di antaranya ialah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang telah menurunkan dan meninabobokan martabat manusia yang luhur. Islam memandang perkawinan dan pembentukan keluarga sebagai sarana efefktif untuk memelihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat dari kekacauan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Artinya : Wahai para pemuda ! Barangsiapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih menundukan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat membentengi dirinya”.

3. Untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang Islami
Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya Thalaq (perceraian), jika suami istri sudah tidak sanggup lagi menegakkan batas-batas Allah, sebagaimana firman Allah dalam ayat berikut :
“Artinya : Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang dhalim.”

Yakni keduanya sudah tidak sanggup melaksanakan syari’at Allah. Dan dibenarkan rujuk (kembali nikah lagi) bila keduanya sanggup menegakkan batas-batas Allah. Sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al-Baqarah lanjutan ayat di atas :

“Artinya : Kemudian jika si suami menthalaqnya (sesudah thalaq yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dikawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami yang pertama dan istri) untuk kawin kembali, jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkannya kepada kaum yang (mau) mengetahui “ .

Jadi tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami istri melaksanakan syari’at Islam dalam rumah tangganya. Hukum ditegakkannya rumah tangga berdasarkan syari’at Islam adalah wajib.

4. Untuk Meningkatkan Ibadah Kepada Allah 
Menurut konsep Islam, hidup sepenuhnya untuk beribadah kepada Allah dan berbuat baik kepada sesama manusia. Dari sudut pandang ini, rumah tangga adalah salah satu lahan subur bagi peribadatan dan amal shalih di samping ibadat dan amal-amal shalih yang lain, sampai-sampai menyetubuhi istri-pun termasuk ibadah (sedekah).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Artinya : Jika kalian bersetubuh dengan istri-istri kalian termasuk sedekah !. Mendengar sabda Rasulullah para shahabat keheranan dan bertanya : “Wahai Rasulullah, seorang suami yang memuaskan nafsu birahinya terhadap istrinya akan mendapat pahala ?” Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjawab : “Bagaimana menurut kalian jika mereka (para suami) bersetubuh dengan selain istrinya, bukankah mereka berdosa .? Jawab para shahabat :”Ya, benar”. Beliau bersabda lagi : “Begitu pula kalau mereka bersetubuh dengan istrinya (di tempat yang halal), mereka akan memperoleh pahala .
5. Untuk Mencari Keturunan Yang Shalih
Tujuan perkawinan di antaranya ialah untuk melestarikan dan mengembangkan bani Adam, Allah berfirman :

“Artinya : Allah telah menjadikan dari diri-diri kamu itu pasangan suami istri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?”.

Dan yang terpenting lagi dalam perkawinan bukan hanya sekedar memperoleh anak, tetapi berusaha mencari dan membentuk generasi yang berkualitas, yaitu mencari anak yang shalih dan bertaqwa kepada Allah.Tentunya keturunan yang shalih tidak akan diperoleh melainkan dengan pendidikan Islam yang benar..
 
Blogger Templates