BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
Kaum muslimin pada masa itu yang kurang
memahami atas kandungan ayat-ayat
al-qur’an yang mutasabihat ketika mereka memahami makna ayat tersebut
masih ada keraguan didalam pengaplikasiannya mereka merujuk ke hadits
rasulullah saw untuk memudahkan dalam habluminallah wahabluminannas.
Selanjutnya kata hadis berasal dari
bahasa arab yang artinya baru,tidak lama,ucapan,pembicaraan,dan cerita.menurut
istilah ahli hadis yang dimaksud dengan hadis adalah segala berita yang
bersumber dari nabi muhammad saw,berupa ucapan,perbuatan,dan takrir
(persetujuan nabi saw) serta penjelasan sifat-sifat nabi muhammad saw.
Para ulama islam berpendapat bahwa hadis
menempati kedudukan pada tingkat kedua sebagai sumber hukum islam setelah
al-qur’an.mereka beralasan kepada dalil-dalil al-qur’an surah
ali-’imran,3:132,surah al-ahzab,33:36 dan al-hasyr,59:7,serta hadis riwayat
turmuzi dan abu daud yang berisi dialog antara rasulullah saw dengan sahabatnya
mu’az bin jabal tentang sumber hukum islam.
Fungsi atau peranan hadis (sunah) di
samping al-qur’anul karim adalah:1) mempertegas atau memperkuat hukum-hukum
yang telah disebutkan dalam al-qur’an (bayan at-taqriri atau at-ta’kid).2)
menjelaskan,menafsirkan,dan merinci ayat-ayat al-qur’an yang masih umum dan
samar ( bayan at-tafsir).3) mewujudkan suatu hukum atau ajaran yang tidak
tercantum dalam al-qur’an (bayan at-tasyri;namun pada prinsipnya tidak
bertentangan dengan al-qur’an.
B.
Rumusan masalah
1. Pengertian
Hadits
2. Kedudukan
Hadits Terhadap Al-quran
3. Fungsi
dan contoh hadits dalam menafsirkan al-qur’an
BAB
II
PEMBAHASAN
1. Pengertian
Hadits
Secara
bahasa, kata al-hadis berasal dari kata hadatsa – yahdutsu – hadtsan – haditsan
dengan pengertian yang bermacam. Al-hadis dapat berarti al-jadid min al-asyya’
(sesuatu yang baru) sebagai lawan dari kata al-qadim (sesuatu yang sudah lama,
kuno, klasik). Kata al-hadits dapat pula berarti al-qarib, yakni menunjukkan
pada waktu yang dekat atau singkat. Al-hadis juga mempunyai makna al-khabar
yang berarti ma yutahaddats bih wa yunqal (sesuatu yang diperbincangkan,
dibicarakan, diberitakan dan dialihkan dari seseorang kepada orang lain.
Dari
ketiga arti kata al-hadis tersebut, nampaknya yang banyak digunakan adalah
pengertian ketiga, yakni dalam arti al-khabar. Menurut Manna’ al-Qattan, hadis
dalam konteks ini dimaknai sebagai segala perkataan yang dinukil serta
disampaikan oleh manusia, baik kata-kata tersebut diperoleh melalui pendengaran
atau wahyu, baik dalam keadaan terjaga, maupun tertidur. Lebih lanjut, dalam
kategori ini al-Quran masuk sebagai bagian dari hadis. Begitu pula apa yang
terjadi pada manusia di waktu tidurnya juga dinamakan hadis.[1]
Umumnya,
para ulama mendefinisikan al-hadis dengan al-sunnah. Sunnah secara etimologi
berarti cara atau jalan hidup yang biasa dipraktekkan, baik ataupun buruk.
Secara terminologi, sunnah adalah segala sesuatu yang dinisbatkan (disandarkan)
kepada Nabi saw., baik perkataan (qauli), perbuatan (fi’li), sikap/ketetapan
(taqriri) maupun sifat fisik dan psikis Rasulullah saw, baik beliau sebelum
menjadi nabi maupun sesudahnya.
Definisi hadis atau sunnah dapat dibedakan menurut disiplin ilmunya. Menurut sebagian ulama hadis, pengertian sunnah sama dengan pengertian hadis, yakni segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw., baik ucapan, perbuatan, sikap/ketetapan, sifatnya sebagai manusia biasa, dan akhlaknya apakah itu sebelum atau sesudah diangkatnya menjadi rasul.
Definisi hadis atau sunnah dapat dibedakan menurut disiplin ilmunya. Menurut sebagian ulama hadis, pengertian sunnah sama dengan pengertian hadis, yakni segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw., baik ucapan, perbuatan, sikap/ketetapan, sifatnya sebagai manusia biasa, dan akhlaknya apakah itu sebelum atau sesudah diangkatnya menjadi rasul.
2. Kedudukan
Hadits terhadap Al-Qur’an
Kedudukan hadis
terhadap al-Quran ditunjukkan oleh fungsinya sebagai:
a. Bayan al-Ta’kid (Taqrir), yaitu penjelasan untuk memperkuat pernyataan
al-Qur’an. Seperti hadis berpuasa dan berbuka karena melihat bulan yang
memperkuat ayat 185 surat al-Baqarah.
b. Bayan Tafsir, yaitu penjelasan terhadap ayat-ayat yang bersifat umum.
Seperti hadis tentang shalat sebagaimana shalat Nabi saw. yang menjelaskan
perintah shalat di dalam al-Qur’an (al-Baqarah: 43, Al-Nisa: 103, dan
seterusnya).
c. Bayan al-Taudhih, yaitu
penjelasan yang bersifat mengungkapkan maksud sebenarnya. Seperti hadis yang
menyatakan bahwa Allah mewajibkan zakat agar harta yang disimpan menjadi baik
dan berkah sebagai penjelasan terhadap ayat 34 surat al-Taubah.[2]
Harus diakui
bahwa terdapat perbedaan yang menonjol antara hadis dan al-Quran dari segi
redaksi dan cara penyampaian atau penerimaannya. Dari segi redaksi, diyakini
bahwa.
wahyu al-Quran disusun langsung oleh Allah
yang disampaikan oleh malaikat Jibril yang kemudian Nabi Muhammad saw. langsung
menyampaikannya kepada umat, dan demikian seterusnya dari generasi ke generasi.
Redaksi al-Quran dapat dipastikan tidak mengalami perubahan, karena sejak
diterimanya oleh Nabi, ia ditulis dan dihafal oleh sekian banyak sahabat dan
kemudian disampaikan secara mutawatir oleh sejumlah orang yang mustahil mereka
sepakat berbohong. Atas dasar ini wahyu-wahyu al-Quran menjadi qath’i al-wurud.
Berbeda dengan hadis yang pada
umumnya disampaikan oleh orang per orang dan itupun seringkali dengan redaksi
yang sedikit berbeda dengan redaksi yang diucapkan oleh Nabi saw. Disamping
itu, diakui pula oleh ulama hadis bahwa walaupun pada masa sahabat sudah ada
yang menulis teks-teks hadis, namun pada umumnya penyampaian atau penerimaan
kebanyakan hadis hanya berdasarkan hafalan para sahabat dan tabi’in. ini
menjadikan kedudukan hadis dari segi otentisitasnya adalah zhanni al-wurud.[3]
Walaupun demikian, itu tidak
berarti terdapat keraguan terhadap keabsahan hadis karena sekian banyak
faktor—baik pada diri Nabi, para sahabat dan periwayat (akan dijelaskan pada
pembahasan selanjutnya)—yang saling mendukung sehingga terpeliharanya
hadis-hadis Nabi saw. Hadis merupakan bagian yang tak terpisahkan dari al-Quran
sebagai pegangan hidup setiap muslim sebab ia mempunyai kedudukan yang sama
dalam mengamalkan ajaran Islam. Tanpa hadis, ajaran al-Quran tidak dapat
dilaksanakan.
Selain itu, ruang lingkup hadis yang sangat luas, meliputi akidah, ibadah,
mu’amalah, akhlak, cara hidup, sejarah, peristiwa-peristiwa, dan lain
sebagainya, menjadikannya berada dalam posisi setingkat di bawah al-Quran
sehingga ia dapat dijadikan hujjah dan pegangan umat Islam dalam setiap
kehidupannya. Hal ini diperkuat dengan pernyataan-pernyataan Allah di dalam
al-Quran:
a. Setiap mukmin wajib patuh kepada Allah dan rasul-Nya (QS. Ali Imran: 32,
An-Nisa: 59, Al-Maidah: 92, dst.).
b. Ketaatan pada rasul merupakan bukti ketaatan dan cinta kepada Allah (QS. Ali
Imran: 31, An-Nisa: 80).
c. Orang yang menyalahi sunnah/hadis akan mendapat azab Allah (QS.
Al-Mujadalah: 5)
d. Berhukum dengan sunnah/hadis adalah tanda orang beriman (QS. An-Nisa: 65).
3. Fungsi
dan Contoh Hadits dalam menafsirkan Al-qur’an
Hadits
menguatkan hukum yang ditetapkan al-qur’an disini hadits berfungsi memperkuat
dan memperkokoh hukum yang dinyatakan oleh alquran.Misalnya, al-quran
menetapkan hukum puasa, dalam firman-nya :
“ hai
orang–orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimanadiwajibkan
atas orang–orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” . (q.s
al baqarah/2:183(
Dan hadits menguatkan
kewajiban puasa tersebut:
Islam
didirikan atas lima perkara : “persaksian bahwa tidak ada tuhan
selain allah , dan muhammad adalah rasulullah, mendirikan shalat ,
membayar zakat , puasa pada bulan ramadhan dan naik haji ke baitullah.”
(h.r bukhari dan muslim)
Hadits memberikan
rincian terhadap pernyataan al qur`an yang masih bersifat global.misalnya
al-qur`an menyatakan perintah shalat : dalam surat al-baqoroh ayat 110 yang
artinya :
“Dan dirikanlah oleh
kamu shalat dan bayarkanlah zakat”.
Shalat
dalam ayat diatas masih bersifat umum, lalu hadits merincinya,
misalnya shalat yang wajib dan sunat. Sabda rasulullah saw: dari
thalhah bin ubaidillah : bahwasannya telah datang seorang arab badui kepada
rasulullah saw. Dan berkata : “wahai rasulullah beritahukan kepadaku
salat apa yang difardukan untukku?” Rasul berkata : “salat lima waktu,
yang lainnya adalah sunnat” (hr.bukhari dan muslim)[4]
Al-qur`an
tidak menjelaskan operasional shalat secara rinci, baik bacaan maupun gerakannya.
Hal ini dijelaskan secara terperinci oleh hadits, misalnya sabda rasulullah saw:
“Shalatlah kamu
sekalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (hr. Bukhari)
Hadits
membatasi kemutlakan ayat al qur`an .misalnya al qur`an mensyariatkanwasiat:
“Diwajibkan atas kamu,
apabila seorang diantara kamu kedatangan tanda–tanda maut dan dia meninggalkan
harta yang banyak, berwasiatlah untuk ibu dan bapak karibkerabatnya secara
makruf. Ini adalah kewajiban atas orang–orang yang bertakwa,”(q.s al
baqarah/2:180
Hadits
memberikan batas maksimal pemberian harta melalui wasiat yaitu
tidak melampaui sepertiga dari harta yang ditinggalkan (harta warisan).
Hal ini disampaikan rasul dalam hadist yang diriwayatkan oleh bukhari dan
muslim dari sa`ad bin abiwaqash yang bertanya kepada rasulullah tentang jumlah
pemberian harta melalui wasiat.rasulullah melarang memberikan seluruhnya, atau
setengah. Beliau menyetujui memberikan sepertiga dari jumlah harta yang ditinggalkan.
Hadits
memberikan pengecualian terhadap pernyataan al qur`an yang bersifat umum.
Misalnya al-qur`an mengharamkan memakan bangkai dan darah:
“Diharamkan bagimu
(memakan) bangkai, darah, daging babi, daging yang disembelih atas nama
selain allah , yang dicekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, yang
dimakan binatang buas kecuali yang sempat kamu menyembelihnya , dan yang
disembelih untuk berhala. Dan diharamkan pula bagimu mengundi nasib dengananak
panah, karena itu sebagai kefasikan. (q.s al maidah /5:3)[5]
Hadits memberikan
pengecualian dengan membolehkan memakan jenis bangkai tertentu (bangkai ikan
dan belalang ) dan darah tertentu (hati dan limpa) sebagaimana sabda rasulullah
saw:
Dari ibnu umar
ra.rasulullah saw bersabda :
”Dihalalkan kepada kita dua bangkai dan dua
darah . Adapun dua bangkai adalah ikan dan belalang dan dua darah adalah hati
dan limpa.”(hr.ahmad, syafii`,ibn majah ,baihaqi dan daruqutni).
Hadits menetapkan hukum
baru yang tidak ditetapkan oleh al-qur`an. Al-qur`an bersifat global,
banyak hal yang hukumnya tidak ditetapkan secara pasti .dalam hal ini, hadits
berperan menetapkan hukum yang belum ditetapkan oleh al-qur`an,misalnya hadits
dibawah ini:
“Rasulullah
melarang semua binatang yang bertaring dan semua burung yang bercakar”
(hr. Muslim dari ibn abbas).
Abdul
halim mahmud, mantan syaikh al-azhar, dalam bukunya al-sunnah fimakanatiha wa
fi tarikhiha menulis bahwa sunnah atau hadits mempunyai fungsi
yang berhubungan dengan al-quran dan fungsi sehubungan dengan pembinaan
hukum syara’.dengan menunjuk kepada pendapat al-syafi’i dalam al-risalah,‘abdul
halimmenegaskan bahwa, dalam kaitannya dengan al-quran, ada dua fungsi
al-sunnah yangtidak diperselisihkan, yaitu apa yang diistilahkan oleh sementara
ulama dengan bayanta’kid dan bayan tafsir. Yang pertama sekadar menguatkan atau
menggaris bawahi kembali apa yang terdapat di dalam al-quran, sedangkan yang
kedua memperjelas,merinci, bahkan membatasi, pengertian lahir dari ayat-ayat
al-quran.
Dalam Al-qur’an
terdapat ayat yang secara tidak langsung telah memerintahkan kaum muslimin
untuk mempersiapkan hari esok secara lebih baik yang terkandung dalam surat
Al-hasr ayat 18 yang artinya :
Hai orang-orang yang
beriman bertaqwalah kepada Allah dan hendakla setiap diri memperhatikan apa yang
telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat) dan bertaqwalah kepada Allah
sesunggunya Allah maha mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan.
Dalam kandungan ayat
ini Rasulullah SAW menguraikannya dengan sabada beliau yang berbunyi “Sikap
yang baik penuh kasih saying dan berlaku hemat adalah sebagian dari 24
kenabian” (H.r Tarmizi).
Nabi Muhammad SAW
mengajarkan sikap hemat ini sebagai kiat untuk mengantisipasi kekurangan yang
dialami oleh seseorang pada sewaktu-waktu.
Hal yang perlu
diperhatikan adalah bersikap hemat tidak berate harus kikir dan bakhil ada
perbedaan besar antara hemat dan kikir,hemat berate membeli untuk keperluan
tertentu secukupnya dan tidak berlebihan ia tidak akan membeli atau
mengeluarkan uang kepada hal-hal yang tidak perlu.Adapun kikir adalah sikap
yang terlalu menahan dari belanja sehingga untuk keperluan sendiri yang pokok
pun sedapat mungkin ia hindari apalagi memberikan kepada orang lain dengan kata
lain ia berusaha agar uang yang dimilikinya tidak dikeluarkannya,tetapi berupaya
agar orang lain memberikan uang kepadanya. Dalam halini rasulullah SAW melarang
keras bagi kaum muslim berbuat kikir.[6]
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Secara
bahasa, kata al-hadis berasal dari kata hadatsa – yahdutsu – hadtsan – haditsan
dengan pengertian yang bermacam,tetapi pada umumnya, para ulama mendefinisikan
al-hadis dengan al-sunnah. Sunnah secara etimologi berarti cara atau jalan
hidup yang biasa dipraktekkan, baik ataupun buruk. Secara terminologi, sunnah
adalah segala sesuatu yang dinisbatkan (disandarkan) kepada Nabi saw., baik
perkataan (qauli), perbuatan (fi’li), sikap/ketetapan (taqriri) maupun sifat fisik
dan psikis Rasulullah saw, baik beliau sebelum menjadi nabi maupun sesudahnya.
Kedudukan
hadis terhadap al-Quran ditunjukkan oleh fungsinya sebagai:
a. Bayan al-Ta’kid (Taqrir)
b. Bayan Tafsir
c. Bayan al-Taudhih
Hadits
menguatkan hukum yang ditetapkan al-qur’an disini hadits berfungsi memperkuat
dan memperkokoh hukum yang dinyatakan oleh alquran.Misalnya, al-quran
menetapkan hukum puasa.
DAFTAR PUSTAKA
Qattan, Manna‘ Khalil., Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an,
Kairo: Mansyurat al-‘Asr al-Hadis, 1973
Khatib, Muhammad ‘Ajaj al-., Ushul al-Hadis;
Pokok-Pokok Ilmu Hadis, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2003
Abror, Indal., Kitab al-Umm Karya al-Syafi’i dan
Posisinya dalam Kutub al-Sittah, (Tulisan di dalam “Jurnal Studi Ilmu-Ilmu
al-Qur’an dan Hadis” Vol. 5 No. 2), Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 2004
Yunus, Mahmud., ‘Ilm Mushthalah al-Hadis, Jakarta:
Maktabah al-Sa’adiyah Futra, 1940
Shihab, M. Quraish., “Membumikan” al-Qur’an: Fungsi
dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1992
Khatib,
Muhammad ‘Ajaj al-., Ushul al-Hadis; Pokok-Pokok Ilmu Hadis, Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2003.
[1] Qattan, Manna‘ Khalil., Mabahis
fi ‘Ulum al-Qur’an, Kairo: Mansyurat al-‘Asr al-Hadis, 1973,hal,74
[2] Khatib, Muhammad ‘Ajaj al-.,
Ushul al-Hadis; Pokok-Pokok Ilmu Hadis, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2003.hal,69
[3] Abror, Indal., Kitab al-Umm
Karya al-Syafi’i dan Posisinya dalam Kutub al-Sittah, (Tulisan di dalam “Jurnal
Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis” Vol. 5 No. 2), Yogyakarta: IAIN Sunan
Kalijaga, 2004.hal.13
[5] Shihab, M. Quraish.,
“Membumikan” al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat,
Bandung: Mizan, 1992. Hal,210
[6] Khatib, Muhammad ‘Ajaj al-.,
Ushul al-Hadis; Pokok-Pokok Ilmu Hadis, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2003.hal,67
mana contoh nya
BalasHapusmslah contoh kan banyck gan dlm penafsiran hadis nych
BalasHapus