Social Icons

Pages

Jumat, 11 Mei 2012

hukum riba dalam ber mu'amalah


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi
Dalam kata Riba menurut bahasa: berarti al-ziyadah (tambahan) dan menurut istilah: adalah suatu bentuk tambahan pembayaran tanpa ada ganti atau imbalan yang sebagai ayarat terjadinya transaksi hutang-piutang atau pinjam-meminjam[1], contoh Andi memberi pinjaman kepada Riki dengan syarat Riki harus mengembalikan uang pokok pinjaman berserta tambahan. Dengan demikian, terjadinya transaksi utang-piutang di karnakan adanya syarat tambahan, bila Riki tidak bisa memenuhi syarat tersebut maka transaksi tidak jadi. Tambahan pengembalian hutang dari pokok pinjaman itulah yang di sebut riba.
Memberikan hutang dengan syarat adanya tambahan seperti tersebut, pada hakekatnya merupakan praktek eksploitasi si kaya kepada si miskin. Ini berarti pihak si miskin bukanya di tolng tetapi justru diperas. Oleh karna itu Islam mengharamkanya. Banyak dari dalil- dalil Al-Qur’an dan Hadits yang menunjukan keharaman Riba, seperti dalam QS. Al-Baqarah ayat 276 dan 278 sebagai berikut:  Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yng tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa. Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba, (yang belum di ambil), jika kamu benar-benar orang yang beriman. QS. Albaqarah ayat 276-278.
Menurut  Imam Suyuthiy dalam Tafsir Jalalain menyatakan, bahwa riba adalah tambahan yang dikenakan di dalam mu’amalah, uang, maupun makanan, baik dalam kadar maupun waktunya[2].  Riba adalah  al-fadllu al-khaaliy ‘an al-‘iwadl al-masyruuth fi al-bai’ (kelebihan atau tambahan yang tidak disertai kompensasi yang disyaratkan di dalam jual beli). Di dalam jual beli yang halal terjadi pertukaran antara harta dengan harta. Sedangkan jika di dalam jual beli terdapat tambahan (kelebihan) yang tidak disertai kompensasi, maka hal itu bertentangan dengan perkara yang m Di dalam kitabal-Mabsuuth, Imam Sarkhasiy menyatakan bahwa riba adalah al-fadllu al-khaaliy ‘an al-‘iwadl al-masyruuth fi al-bai’ (kelebihan atau tambahan yang tidak disertai kompensasi yang disyaratkan di dalam jual beli). Di dalam jual beli yang halal terjadi pertukaran antara harta dengan harta. Sedangkan jika di dalam jual beli terdapat tambahan (kelebihan) yang tidak disertai kompensasi, maka hal itu bertentangan dengan perkara yang menjadi konsekuensi sebuah jual beli, dan hal semacam itu haram menurut syariat.menjadi konsekuensi sebuah jual beli, dan hal semacam itu haram menurut syariat, karna menurut syariat, riba adalah ‘aqd ‘ala ‘iwadl makhshuush ghairu ma’luum al-tamaatsul fi mi’yaar al-syar’ haalat al-‘aqd au ma ta`khiir fi al-badalain au ahadihimaa” (aqad atas sebuah jual beli yang tidak diketahui kesesuaiannya dalam timbangan syariat, baik ketika aqad itu berlangsung maupun ketika ada penundaan salah satu barang yang ditukarkan, maupun keduanya).
B.     Hukum Riba
Seluruh ‘ulama sepakat mengenai keharaman riba, baik yang dipungut sedikit maupun banyak. Seseorang tidak boleh menguasai harta riba dan harta itu harus dikembalikan kepada pemiliknya, jika pemiliknya sudah diketahui, dan ia hanya berhak atas pokok hartanya saja[3].
Al-Quran dan Sunnah dengan sharih telah menjelaskan keharaman riba dalam berbagai bentuknya, dan seberapun banyak ia dipungut.Allah swt berfirman;
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبا لا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), “Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,” padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”. QS Al-Baqarah ayat 275.
Dan diteruskan juga pada surat AL-Baqarah ayat 279 yang berbunyi sebagai berikut:Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”. QS Al-Baqarah  279.
Di dalam hadis Nabi Muhammad saw menyatakan:
دِرْهَمُ رِبَا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتٍّ وَثَلَاثِيْنَ زِنْيَةً
“Satu dirham riba yang dimakan seseorang, dan dia mengetahui (bahwa itu adalah riba), maka itu lebih berat daripada enam puluh kali zina”. HR Ahmad dari Abdullah bin Hanzhalah.
عَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّباَ وَمُوْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ, وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ
“Rasulullah saw melaknat orang memakan riba, yang memberi makan riba, penulisnya, dan dua orang saksinya. Belia bersabda; Mereka semua sama”[4]HR Muslim
Di dalam Kitab al-Mughniy karangan Ibnu Qudamah mengatakan: “Bahwa riba diharamkan berdasarkan Kitab, Sunnah, dan Ijma’[5]. Karna  pengharamannya didasarkan pada firman Allah swt,”Wa harrama al-riba” (dan Allah swt telah mengharamkan riba) dalam surat Al-Baqarah:275 dan ayat-ayat berikutnya. Sedangkan dalm hadis Nabi muhammad saw. Bahwasanya beliau bersabda, “Jauhilah oleh kalian 7 perkara yang membinasakan”. Para shahabat bertanya, “Apa itu, Ya Rasulullah?”. Rasulullah saw menjawab, “Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan haq, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari peperangan, menuduh wanita-wanita Mukmin yang baik-baik berbuat zina”.
Dan di dalam Kitab al-Muhadzdzab menyatakan bahwa riba merupakan perkara yang diharamkan. Keharamannya didasarkan pada firman Allah swt, “Wa ahall al-Allahu al-bai` wa harrama al-riba” (Allah swt telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba) dan juga firmanNya yang artinya, (orang yang memakan riba tidak bisa berdiri, kecuali seperti berdirinya orang yang kerasukan setan)”.  Ibnu Mas’ud telah meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw. Melaknat orang yang memakan riba, wakil, saksi, dan penulisnya”. HR. Imam Bukhari dan Muslim[6]. Karna itu umat Islam telah berkonsensus mengenai keharaman riba.

Dan Imam al-Shan’aniy juga menulis dalam Kitab Subul al-Salaam yang  mengatakan seluruh umat telah bersepakat atas haramnya riba secara global[7]. Karna riba termasuk dosa besar, bahkan termasuk sebesar-besarnya dosa besar (min akbar al-kabaair). Pasalnya, Rasulullah saw telah melaknat orang yang memakan riba, wakil, saksi, dan penulisnya. Selain itu, Allah swt dan RasulNya telah memaklumkan perang terhadap pelaku riba. Di dalam Kitab al-Nihayah dituturkan bahwasanya dosa riba itu lebih besar dibandingkan dosa zina, mencuri, dan minum khamer. Dan Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukaniy menyatakan kaum Muslim sepakat bahwa riba termasuk dosa besar.
Mahammad Ali al-Saayis di dalam Tafsiir Ayaat Ahkaam menyatakan, telah terjadi kesepakatan antara kaum muslim atas keharaman riba di dalam dua jenis ini (riba nasii’ah dan riba fadlal). Keharaman riba jenis pertama ditetapkan berdasarkan Al-Qur’an: sedangkan keharaman riba jenis kedua ditetapkan berdasarkan hadits shahih[8]. Dan  Abu Ishaq juga menulis di dalam Kitab al-Mubadda’ yang  menyatakan keharaman riba telah menjadi konsensus, berdasarkan al-Quran dan Sunnah[9].
C.    Pembagian riba
Riba terbagi menjadi empat macam:
1.      Riba Nasa’ (Nasii’ah)
2.      Riba fadhl
3.      Riba qardh

1.      Riba Nasii`ah
Riba Nasii`ah adalah tambahan yang diambil karena penundaan waktu pembayaran utang yang dibayarkan, sama saja apakah tambahan itu merupakan sanksi atas keterlambatan pembayaran hutang, atau sebagai tambahan hutang baru. Misalnya, si A meminjamkan uang sebanyak 200 juta kepada si B; dengan perjanjian si B harus mengembalikan hutang tersebut pada tanggal 1 Januari 2009 dan jika si B menunda pembayaran hutangnya dari waktu yang telah ditentukan 1 Januari 2009, maka si B wajib membayar tambahan atas keterlambatannya; misalnya 10% dari total hutang. Tambahan pembayaran di sini bisa saja sebagai bentuk sanksi atas keterlambatan si B dalam melunasi hutangnya, atau sebagai tambahan hutang baru karena pemberian tenggat waktu baru oleh si A kepada si B. Tambahan inilah yang disebut dengan riba nasii’ah.
Adapun hadis pelarangannya adalah hadits yang diriwayatkan Imam Muslim.
الرِّبَا فِيْ النَّسِيْئَةِ
“Riba itu dalam nasi’ah”.HR Muslim dari Ibnu Abbas
Ibnu Abbas berkata: Usamah bin Zaid telah menyampaikan kepadaku bahwa Rasulullah saw bersabda: “Ingatlah, sesungguhnya riba itu dalam nasi’ah”. HR Muslim.
2.      Riba Fadlal
Riba fadlal riba yaitu penukaran dua jenis barang yang kwantitasnya sama tetapi kuwalitasnya berbeda. pelarangannya hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim.“Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, semisal, setara, dan kontan. Apabila jenisnya berbeda, juallah sesuka hatimu jika dilakukan dengan kontan”.HR Muslim dari Ubadah bin Shamit ra.
Karna Riba yang disebabk penundaan pembayaran dalam pertukaran barang-barang. Dengan kata lain, kedua belah pihak yang melakukan pertukaran uang atau barang telah berpisah dari tempat aqad sebelum diadakan serah terima. Larangan di tetapkan berdasarkan hadits dalam kitab ibnu Qudamah yang berbunyi sebagai berikut:
الْوَرِقُ بِالذَّهَبِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالتَّمْرُِالتَّمْرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ
“Perak dengan emas riba kecuali dengan dibayarkan kontan gandum dengan gandum riba kecuali dengan dibayarkan kontan kismis dengan kismis riba, kecuali dengan dibayarkan kontan; kurma dengan kurma riba kecuali dengan dibayarkan kontan[10].

3.      Riba Qardl. 
Riba qaradl adalah riba yang meminjam uang kepada seseorang dengan syarat ada kelebihan atau keuntungan yang harus diberikan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman. Riba semacam ini dilarang di dalam Islam berdasarkan hadits-hadits berikut ini:
Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Burdah bin Musa: ia berkata, “Suatu ketika, aku mengunjungi Madinah. Lalu aku berjumpa dengan Abdullah bin Salam. Lantas orang ini berkata kepadaku: ‘Sesungguhnya engkau berada di suatu tempat yang di sana praktek riba telah merajalela. Apabila engkau memberikan pinjaman kepada seseorang lalu ia memberikan hadiah kepadamu berupa rumput ker ing, gandum atau makanan ternak, maka janganlah diterima. Sebab, pemberian tersebut adalah riba”. HR. Imam Bukhari
Juga, Imam Bukhari dalam “Kitab Tarikh”nya, meriwayatkan sebuah Hadits dari Anas ra bahwa Rasulullah SAW telah bersabda, “Bila ada yang memberikan pinjaman (uang maupun barang), maka janganlah ia menerima hadiah (dari yang meminjamkannya)”.HR. Imam Bukhari
Hadits di atas menunjukkan bahwa peminjam tidak boleh memberikan hadiah kepada pemberi pinjaman dalam bentuk apapun, lebih-lebih lagi jika si peminjam menetapkan adanya tambahan atas pinjamannya tentunya ini lebih dilarang lagi.
Sayyid saabiq mengtakan dalam Pelarangan riba qardl juga sejalan dengan kaedah ushul fiqh, “Kullu qardl jarra manfa’atan fahuwa riba”. (Setiap pinjaman yang menarik keuntungan (membuahkan bunga) adalah riba”[11]. Praktek-praktek riba yang sering dilakukan oleh bank adalah riba nasii’ah, dan riba qardl dan kadang-kadang dalam transaksi-transaksi lainnya, terjadi riba yadd maupun riba fadlal. Seorang Muslim wajib menjauhi sejauh-jauhnya praktek riba.




BAB III
SIMPULAN
Dari pembahasan diatas kami dapat menyimpulkan bahwa jual beli dengan cara menambah (tambahan) pembayaran  tanpa ada ganti atau imbalan yang tidak ada syarat syariat islam maka jual beli tersebut adalah riba, dalam syariat islam sangat melarang riba karena riba dapat merugikan orang lain. Seperti hadis Nabi SAW “ Rasulullah SAW melaknat orang-orang yang makan barang riba dan yang mewakilinya, penulis dan dua orang saksinya beliua bersabda mereka itu semua sama saja”. (HR Muslim). Kita sebagai seorang muslim apabila kita mengalami kesulitan untuk menjahui riba maka kita terus berusaha dari hal-hal yang kecil, bahkan yang kita anggap sepele tentang riba. Karena riba juga dapat menjauhkan diri kita kepada yang kuasa, sebab allah tidak menyukai perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak mempunyai prikemanusiaan  yang mementingkan diri sendiri yang hanya memperkaya diri tanpa upaya yang wajar, riba juga salah satu sebagai bentuk penjajahan manusia terhadap manusia lainya, maka allah mengharamkan riba.












DAFTAR PUSTAKA

 suparta, figihmu’amalah, semarang: PT karya toha putra, 2004
Suyuthiy, imam, tafsir jalalain, Beirut Dar al-fikr, 1981
Qudamah, Ibnu, Al-mughniy,libanon, mu’assasat al-kutub al-saqafah. 1993
Atsqalani, Hajar, Ibnu, Terjemah hadis bulughul maram, bandung, Pt gema risalah press.th 2007.
Syiraaziy, Al-, Imam, Al-Muhadzdzab, semarang, pt toha putra,
Shan’aaniy, Imam, subul Al-salaam, bandung, dahlan,
Muhammad, Ali,  Tafsir ayat Al-ahkaam,
Ishaq, abu, Al-mubadda, semarang, PT toha putra,
Saabiq, Sayyid, fiqih Al-sunnah, Berut, Dar Al-fikr, 1983.












[1] Suparta.,  fiqih mu’amalah,. semarang, pt karya toha putra, 2004 hal. 244
[2] Imam suyuthi, tafsir jalalain Beirut al-fikr, surat Al-baqarah, 1981,hal. 275
[3] Suparta, Fiqih mu’amalah, semarang, pt karya toha putra, 2004, hal. 244
[4] Ibnu hajar atsqalani, terjemah hadis bulughul maram, bandung, Pt gema risalah press.th 2007, hal 336
[5] Imam Ibnu Qudamah, Al-Mughniy, libanon, mu’assasat al-kutub al-saqafah. 1993, juz 4, hal 24
[6] Imam Al-Syiraaziy, Al-Muhadzdzad, semarang, pt  toha putra, juz 1. Hal 270
[7] Imam Al-shan’aaniy, subul al-salaam, bandung, dahlan, juz 3. Hal 36
[8] Muhammad Ali, Tafsiir Ayaat Al-Ahkaam, juz 1. Hal 162
[9] Abu ishaq, al-mubadad, semarang, pt toha putra ,juz 4. Hal 12
[10] Imam Ibnu qudamah, al-mughny,libanon, mu’assasat al-kutub al-saqafah. 1993 juz 4. Hal 13
[11] Sayyid saabiq, fiqih al-sunah, Berut, Dar Al-fikr, 1983, jilid 12. Hal 113

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Blogger Templates