BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering melihat perbuatan-perbutan yang tidak semestinya dilakukan oleh orang-orang tersebut. Contohnya seperti
pembunuhan, pencurian, perampokan, dll. Yang dapat merugikan orang banyak. Dari
uraian tersebut terlihat bahwa manusia pada zaman sekarang ahklak dan moralnya kurang
terdidik. Perbuatan-perbuatan seperti itu akan merugikan diri sendiri baik di
dunia maupun di akhirat. Hukuman-hukuman yang pantas untuk orang-orang tersebut
haruslah yang bisa membuat dia jera dan tidak mau mengulangi kesalahan-kesalah
yang diperbuatnya.
B.
Rumusan Masalah
Dilihat dari latarbelakang masalah
di atas dapat diperoleh beberapa permasalah
di antaranya yaitu:
1.
Apa yang dimaksud dengan hukuman
?
2.
Sebab-sebab hapusnya/gugurnya hukuman
?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Hukuman
Hukuman dalam bahasa arab disebut ‘uqubah. Lafaz ‘uqubah menurut bahasa berasal dari kata: ( ) yang sinonimnya yaitu: ( ), artinya:
mengiringnya dan datang dibelakangnya. Sesuatu disebut hukuman karena ia mengiringi perbuatan dan dilaksanakan sesudah perbuatan itu dilakukan.
Dalam bahasa Indonesia, hukuman diartikan sebagai “siksa dan sebagainya”, atau “keputusan yang
dijatuhkan oleh hakim”.
Menurut kamus bahasa Indonesia karangan S.
Wojowasito, hukuman berarti siksaan atau pembalasan kejahatan (kesalahan dosa).
Hukuman merupakan balasan yang setimpal atas perbuatan pelaku kejahatan yang mengakibatkan orang
lain menjadi korban akibat perbuatannya. Dalam ungkapanlain, hukuman merupakan penimpaan derita dan kesengsaraan bagi pelaku kejahatan sebagai balasan dari apa yang telah diperbuatnya kepada orang lain atau balasan yang diterima sipelaku akibat pelanggaran.
Hukuman harus mempunyai dasar, baik
dari Al-Qur’an, hadits atau lembaga legislatif yang mempunyai kewenangan menetapkan
hukuman untuk kasus ta’zir. Selain itu hukuman harus bersifat pribadi. Artinya
hanya dijatuhkan kepada yang melakukan kejahatan saja. Hal ini sesuai dengan
prinsip bahwa:” seseorang tidak menaggung dosanya orang lain”.
2.
Sebab-Sebab Hapusnya / Gugurnya Hukuman
Pembatalan hukuman adalah tidak dapat dilakukannya suatu putusan pengdilan yang telah dijatuhkan berkenaan berbagai sebab, baik sebab itu pada diri terhukum maupun usaha-usaha terhukum, atau berkaitan dengan masalah waktu hukuman. Dalam hal ini,
terdapat perbedaan antara terhapusnya hukuman dengan pembatalan hukuman. Pada terhapusnya
hukuman, tidak terdapat pertanggung jawaban pidana, karena perkaranya tidak diproses
sehingga tidak ada keputusan hakim. Adapun pada pembatalan hukuman, pertanggung
jawaban pidana itu ada dan telah diproses
di pengadilan sehingga terdapat keputusan hakim. Namun karena sebab-sebab seperti
tersebut di atas, keputusan tersebut tidak dapat dilaksakan kepada terhukum.
Berikut ini beberapa hal atau perbuatan
yang menyebabkan terjadinya gugurnya hukuman
1. Meninggalnya si
pembuat jarimah. Hukuman mati yang ditetapkan kepada si pelaku menjadi batal pelaksanaannya
bila si pelakunya meninggal. Namun, hukuman yang berupa harta seperti denda,
diyat dan perampasan harta dapat terus dilaksanakan.
2.
Hilangnya anggota badan yang akan dijatuhi hukuman. Dalam kasus jarimah qishash, hukuman berpindah kepada hukuman diyat.
3. Bertobat, menurut para ulama tobat ini hanya ada pada jarimah hirabah. Namun mereka juga memberikan keleluasaan bagi ulil amri untuk memberikan sanksi ta’zir demi
kemaslahatan umum.
4. Korban (dalam hal masih hidup) dan wali/ahliwaris
(dalam halkorban mati),
memaafkannya (dalam qishash-diyat) ataupun ulul amri dalam kasus ta’zir yang
berkaitan dengan hak perseorangan.
5. Adanya upaya damai antara pelaku dengan korban atau wali/ahli warisnya dalam kasus jarimah qishash/diyat.
Berbeda dengan hapusnya hukuman karena sebab-sebab tersebut maka yang
dimaksud dengan gugurnya hukuman disini adalah tidak dapat dilaksanakannya hukuman-hukuman
yang telah dijatuhkan atau diputuskan oleh hakim.
Dalam kaitan dengan
hapusnya hukuman karena keadaan pelaku, hukuman tidak dijatuhkan karena kondisi
psikis dari pelaku sedang terganggu, misalnya karena gila, dipaksa, mabuk, atau
masih dibawah umur.
Asbab raf’ al uqubah atau sebab hapusnya
hukuman, tidak mengakibatkan perbuatan yang dilakukan itu diperbolehkan,
melainkan tetap pada asalnya yaitu dilarang. Hanya saja oleh karena keadaan
pelaku tidak memungkainkan dilaksanakannya hukuman, ia dibebaskan dari hukuman.
Diantara sebab-sebab hapusnya hukuman ini ada empat macam:
1. Paksaan (al ikrah)
“Paksaan adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang karena
orang lain, dan oleh karena itu hilanglah kerelaannya atau tidak sempurna
pilihannya. Atau paksaan adalah suatu perbuatan yang timbul dari orang yang
memaksa dan menimbulkan pada diri orang yang dipaksa suatu keadaan yang
mendorong dirinya untuk mengerjakan perbuatan yang dimintakan kepadanya. Atau
paksaan adalah ancaman oleh seseorang atas orang lain dengan sesuatu yang tidak
disenangi untuk mengerjakan sesuatu sehingga karenanya hilang kerelaannya”.
2. Mabuk (al sukru)
Secara umum yang dimaksud dengan mabuk adalah hilangnya akal sebagai akibat
minum minuman keras atau khamar atau yang sejenisnya. Muhammad ibn Hasan dan
Imam Abu Yusuf berpendapat bahwa orang mabuk itu adalah orang yang banyak
mengigau pada pembicaraannya. Alasan mereka ini didasarkan pada firman Allah
dalam Surah An-Nisa’ ayat 43.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu
ucapkan…
3.
Gila
(al jununu)
Secara umum dan luas , gila memiliki pengertian “hilangnya akal, rusak atau
lemah”. Definisi tersebut merupakan definisi secara umum dan luas, sehingga
mencakup gila (junun), dungu (al-‘ithu), dan semua jenis penyakit
kejiwaan hyang sifatnya menghilangkan idrak (kemampuan berfikir). Beberapa
jenis penyakit, baik yang menghilangkan seluruh kekuatan berpikir maupun
sebagiannya. Gila dan
keadaan-keadaan lain yang sejenis:
a.
Gila terus
menerus
Gila terus
menerus adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak dapat berpikir sama sekali,
baik hal itu diderita sejak lahir maupun yang dating kemudian.
Dikalangan fuqaha, gila semacam ini disebut
dengan Al-Jununu Al-Muthbaq.
b.
Gila berselang
Orang yang
terkena penyakit gila berselang tidak dapat berfikir, tetapi tidak
terus-menerus. Apabila keadaan tersebut menimpanya maka ia kehilangan
pikirannya sama sekali, dan apabila keadaan tersebut telah berlalu
(hilang) maka ia dapat berpikir kembali seperti biasa.
Pertanggungjawaban pidana pada gila terus
menerus hilang sama sekali, sedang pada gila berselang ia tetap dibebani
pertanggungjawaban ketika ia dalam kondisi sehat.
c.
Gila sebagian
Gila sebagian
menyebabkan seseorang tidak dapat berpikir dalam perkara-perkara tertentu,
sedangkan pada perkara-perkara yang lain ia masih tetap dapat berpikir. Dalam
kondisi dimana ia masih dapat berpikir, ia tetap dibebani pertanggungjawaban
pidana, tetapi ketika ia tidak dapat berpikir, ia bebas dari pertanggungjawaban
pidana.
d.
Dungu
(Al-‘Ithu)
Menurut para
fuqaha sebagaimana dikutip oleh Abdul Qadir Audah memberikan definisi sebagai
berikut.
“orang dungu adalah orang yang minim
pemahamannya, pembicaraannya bercampur baur, tidak beres pemikirannya, baik hal
itu bawaan sejak lahir atau timbul kemudian karena suatu penyakit.
Dapat dipahami bahwa dungu
merupakan tingkatan gila yang paling rendah dan dungu bias dikatakan berbeda dengan
gila, karena hanya mengakibatkan lemahnya berpikir bukan menghilangkannya,
sedangkan gila mengakibatkan hilangnya atau kacaunya kekuatan berpikir, sesuai
dengan tingkatan-tingkatan kedunguannya, namun orang yang dungu bagaimanapun
tidak sama kemampuan berpikirnya dengan orang biasa (normal). Namun secara
umum orang dungu tidak dibebani pertanggungjawaban pidana.
e. Dibawah umur (shighar assinni).
Secara alamiah terdapat
tiga masa yang dialami oleh setiap orang sejak ia dilahirkan sampai dewasa;
v Masa tidak adanya kemampuan berpikir (idrak)
v Masa kemampuan berpikir yang lemah
v Masa kemampuan
berpikir penuh.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Wardi
Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam Fiqih Jinayah,
(Jakarta:
Sinar Grafika, 2004)
A.Djajuli, Fiqih Jinayah,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996)
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (fiqih
jinayah) untuk IAIN,STAIN,PTAIS, (Bandung: Pustaka Setia,2000)