Social Icons

Pages

Senin, 03 September 2012

PERANAN HADITS DALAM MENAFSIRKAN AL-QUR'AN


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Kaum muslimin pada masa itu yang kurang memahami atas kandungan ayat-ayat  al-qur’an yang mutasabihat ketika mereka memahami makna ayat tersebut masih ada keraguan didalam pengaplikasiannya mereka merujuk ke hadits rasulullah saw untuk memudahkan dalam habluminallah wahabluminannas.
Selanjutnya kata hadis berasal dari bahasa arab yang artinya baru,tidak lama,ucapan,pembicaraan,dan cerita.menurut istilah ahli hadis yang dimaksud dengan hadis adalah segala berita yang bersumber dari nabi muhammad saw,berupa ucapan,perbuatan,dan takrir (persetujuan nabi saw) serta penjelasan sifat-sifat nabi muhammad saw.
Para ulama islam berpendapat bahwa hadis menempati kedudukan pada tingkat kedua sebagai sumber hukum islam setelah al-qur’an.mereka beralasan kepada dalil-dalil al-qur’an surah ali-’imran,3:132,surah al-ahzab,33:36 dan al-hasyr,59:7,serta hadis riwayat turmuzi dan abu daud yang berisi dialog antara rasulullah saw dengan sahabatnya mu’az bin jabal tentang sumber hukum islam.
Fungsi atau peranan hadis (sunah) di samping al-qur’anul karim adalah:1) mempertegas atau memperkuat hukum-hukum yang telah disebutkan dalam al-qur’an (bayan at-taqriri atau at-ta’kid).2) menjelaskan,menafsirkan,dan merinci ayat-ayat al-qur’an yang masih umum dan samar ( bayan at-tafsir).3) mewujudkan suatu hukum atau ajaran yang tidak tercantum dalam al-qur’an (bayan at-tasyri;namun pada prinsipnya tidak bertentangan dengan al-qur’an.
B. Rumusan masalah
1.      Pengertian Hadits
2.      Kedudukan Hadits Terhadap Al-quran
3.      Fungsi dan contoh hadits dalam menafsirkan al-qur’an
BAB II
PEMBAHASAN

1.      Pengertian Hadits
Secara bahasa, kata al-hadis berasal dari kata hadatsa – yahdutsu – hadtsan – haditsan dengan pengertian yang bermacam. Al-hadis dapat berarti al-jadid min al-asyya’ (sesuatu yang baru) sebagai lawan dari kata al-qadim (sesuatu yang sudah lama, kuno, klasik). Kata al-hadits dapat pula berarti al-qarib, yakni menunjukkan pada waktu yang dekat atau singkat. Al-hadis juga mempunyai makna al-khabar yang berarti ma yutahaddats bih wa yunqal (sesuatu yang diperbincangkan, dibicarakan, diberitakan dan dialihkan dari seseorang kepada orang lain.
Dari ketiga arti kata al-hadis tersebut, nampaknya yang banyak digunakan adalah pengertian ketiga, yakni dalam arti al-khabar. Menurut Manna’ al-Qattan, hadis dalam konteks ini dimaknai sebagai segala perkataan yang dinukil serta disampaikan oleh manusia, baik kata-kata tersebut diperoleh melalui pendengaran atau wahyu, baik dalam keadaan terjaga, maupun tertidur. Lebih lanjut, dalam kategori ini al-Quran masuk sebagai bagian dari hadis. Begitu pula apa yang terjadi pada manusia di waktu tidurnya juga dinamakan hadis.[1]
Umumnya, para ulama mendefinisikan al-hadis dengan al-sunnah. Sunnah secara etimologi berarti cara atau jalan hidup yang biasa dipraktekkan, baik ataupun buruk. Secara terminologi, sunnah adalah segala sesuatu yang dinisbatkan (disandarkan) kepada Nabi saw., baik perkataan (qauli), perbuatan (fi’li), sikap/ketetapan (taqriri) maupun sifat fisik dan psikis Rasulullah saw, baik beliau sebelum menjadi nabi maupun sesudahnya.
Definisi hadis atau sunnah dapat dibedakan menurut disiplin ilmunya. Menurut sebagian ulama hadis, pengertian sunnah sama dengan pengertian hadis, yakni segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw., baik ucapan, perbuatan, sikap/ketetapan, sifatnya sebagai manusia biasa, dan akhlaknya apakah itu sebelum atau sesudah diangkatnya menjadi rasul.
2.      Kedudukan Hadits terhadap Al-Qur’an
Kedudukan hadis terhadap al-Quran ditunjukkan oleh fungsinya sebagai:
a. Bayan al-Ta’kid (Taqrir), yaitu penjelasan untuk memperkuat pernyataan al-Qur’an. Seperti hadis berpuasa dan berbuka karena melihat bulan yang memperkuat ayat 185 surat al-Baqarah.
b. Bayan Tafsir, yaitu penjelasan terhadap ayat-ayat yang bersifat umum. Seperti hadis tentang shalat sebagaimana shalat Nabi saw. yang menjelaskan perintah shalat di dalam al-Qur’an (al-Baqarah: 43, Al-Nisa: 103, dan seterusnya).

c. Bayan al-Taudhih, yaitu penjelasan yang bersifat mengungkapkan maksud sebenarnya. Seperti hadis yang menyatakan bahwa Allah mewajibkan zakat agar harta yang disimpan menjadi baik dan berkah sebagai penjelasan terhadap ayat 34 surat al-Taubah.[2]
Harus diakui bahwa terdapat perbedaan yang menonjol antara hadis dan al-Quran dari segi redaksi dan cara penyampaian atau penerimaannya. Dari segi redaksi, diyakini bahwa.
 wahyu al-Quran disusun langsung oleh Allah yang disampaikan oleh malaikat Jibril yang kemudian Nabi Muhammad saw. langsung menyampaikannya kepada umat, dan demikian seterusnya dari generasi ke generasi. Redaksi al-Quran dapat dipastikan tidak mengalami perubahan, karena sejak diterimanya oleh Nabi, ia ditulis dan dihafal oleh sekian banyak sahabat dan kemudian disampaikan secara mutawatir oleh sejumlah orang yang mustahil mereka sepakat berbohong. Atas dasar ini wahyu-wahyu al-Quran menjadi qath’i al-wurud.

Berbeda dengan hadis yang pada umumnya disampaikan oleh orang per orang dan itupun seringkali dengan redaksi yang sedikit berbeda dengan redaksi yang diucapkan oleh Nabi saw. Disamping itu, diakui pula oleh ulama hadis bahwa walaupun pada masa sahabat sudah ada yang menulis teks-teks hadis, namun pada umumnya penyampaian atau penerimaan kebanyakan hadis hanya berdasarkan hafalan para sahabat dan tabi’in. ini menjadikan kedudukan hadis dari segi otentisitasnya adalah zhanni al-wurud.[3]
Walaupun demikian, itu tidak berarti terdapat keraguan terhadap keabsahan hadis karena sekian banyak faktor—baik pada diri Nabi, para sahabat dan periwayat (akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya)—yang saling mendukung sehingga terpeliharanya hadis-hadis Nabi saw. Hadis merupakan bagian yang tak terpisahkan dari al-Quran sebagai pegangan hidup setiap muslim sebab ia mempunyai kedudukan yang sama dalam mengamalkan ajaran Islam. Tanpa hadis, ajaran al-Quran tidak dapat dilaksanakan.
Selain itu, ruang lingkup hadis yang sangat luas, meliputi akidah, ibadah, mu’amalah, akhlak, cara hidup, sejarah, peristiwa-peristiwa, dan lain sebagainya, menjadikannya berada dalam posisi setingkat di bawah al-Quran sehingga ia dapat dijadikan hujjah dan pegangan umat Islam dalam setiap kehidupannya. Hal ini diperkuat dengan pernyataan-pernyataan Allah di dalam al-Quran:
a. Setiap mukmin wajib patuh kepada Allah dan rasul-Nya (QS. Ali Imran: 32, An-Nisa: 59, Al-Maidah: 92, dst.).
b. Ketaatan pada rasul merupakan bukti ketaatan dan cinta kepada Allah (QS. Ali Imran: 31, An-Nisa: 80).
c. Orang yang menyalahi sunnah/hadis akan mendapat azab Allah (QS. Al-Mujadalah: 5)
d. Berhukum dengan sunnah/hadis adalah tanda orang beriman (QS. An-Nisa: 65).

3.      Fungsi dan Contoh Hadits dalam menafsirkan Al-qur’an
Hadits menguatkan hukum yang ditetapkan al-qur’an disini hadits berfungsi memperkuat dan memperkokoh hukum yang dinyatakan oleh alquran.Misalnya, al-quran menetapkan hukum puasa, dalam firman-nya :
“ hai orang–orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimanadiwajibkan atas orang–orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” . (q.s al  baqarah/2:183( 
Dan hadits menguatkan kewajiban puasa tersebut:
Islam didirikan atas lima perkara : “persaksian bahwa tidak ada tuhan selain allah , dan muhammad adalah rasulullah, mendirikan shalat , membayar zakat , puasa pada bulan ramadhan dan naik haji ke baitullah.” (h.r bukhari dan muslim)
Hadits memberikan rincian terhadap pernyataan al qur`an yang masih bersifat global.misalnya al-qur`an menyatakan perintah shalat : dalam surat al-baqoroh ayat 110 yang artinya :
“Dan dirikanlah oleh kamu shalat dan bayarkanlah zakat”.
Shalat dalam ayat diatas masih bersifat umum, lalu hadits merincinya, misalnya shalat yang wajib dan sunat. Sabda rasulullah saw: dari thalhah bin ubaidillah : bahwasannya telah datang seorang arab badui kepada rasulullah saw. Dan berkata : “wahai rasulullah beritahukan kepadaku salat apa yang difardukan untukku?” Rasul berkata : “salat lima waktu, yang lainnya adalah sunnat” (hr.bukhari dan muslim)[4]
Al-qur`an tidak menjelaskan operasional shalat secara rinci, baik bacaan maupun gerakannya. Hal ini dijelaskan secara terperinci oleh hadits, misalnya sabda rasulullah saw:
“Shalatlah kamu sekalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (hr. Bukhari)
Hadits membatasi kemutlakan ayat al qur`an .misalnya al qur`an mensyariatkanwasiat:
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan tanda–tanda maut dan dia meninggalkan harta yang banyak, berwasiatlah untuk ibu dan bapak karibkerabatnya secara makruf. Ini adalah kewajiban atas orang–orang yang bertakwa,”(q.s al baqarah/2:180
Hadits memberikan batas maksimal pemberian harta melalui wasiat yaitu tidak melampaui sepertiga dari harta yang ditinggalkan (harta warisan). Hal ini disampaikan rasul dalam hadist yang diriwayatkan oleh bukhari dan muslim dari sa`ad bin abiwaqash yang bertanya kepada rasulullah tentang jumlah pemberian harta melalui wasiat.rasulullah melarang memberikan seluruhnya, atau setengah. Beliau menyetujui memberikan sepertiga dari jumlah harta yang ditinggalkan. 
Hadits memberikan pengecualian terhadap pernyataan al qur`an yang bersifat umum. Misalnya al-qur`an mengharamkan memakan bangkai dan darah:
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, daging yang disembelih atas nama selain allah , yang dicekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, yang dimakan binatang buas kecuali yang sempat kamu menyembelihnya , dan yang disembelih untuk berhala. Dan diharamkan pula bagimu mengundi nasib dengananak panah, karena itu sebagai kefasikan. (q.s al maidah /5:3)[5]
Hadits memberikan pengecualian dengan membolehkan memakan jenis bangkai tertentu (bangkai ikan dan belalang ) dan darah tertentu (hati dan limpa) sebagaimana sabda rasulullah saw:
Dari ibnu umar ra.rasulullah saw bersabda :
 ”Dihalalkan kepada kita dua bangkai dan dua darah . Adapun dua bangkai adalah ikan dan belalang dan dua darah adalah hati dan limpa.”(hr.ahmad, syafii`,ibn majah ,baihaqi dan daruqutni).
Hadits menetapkan hukum baru yang tidak ditetapkan oleh al-qur`an. Al-qur`an bersifat global, banyak hal yang hukumnya tidak ditetapkan secara pasti .dalam hal ini, hadits berperan menetapkan hukum yang belum ditetapkan oleh al-qur`an,misalnya hadits dibawah ini:
“Rasulullah melarang semua binatang yang bertaring dan semua burung yang bercakar” (hr. Muslim dari ibn abbas).
Abdul halim mahmud, mantan syaikh al-azhar, dalam bukunya al-sunnah fimakanatiha wa fi tarikhiha menulis bahwa sunnah atau hadits mempunyai fungsi yang berhubungan dengan al-quran dan fungsi sehubungan dengan pembinaan hukum syara’.dengan menunjuk kepada pendapat al-syafi’i dalam al-risalah,‘abdul halimmenegaskan bahwa, dalam kaitannya dengan al-quran, ada dua fungsi al-sunnah yangtidak diperselisihkan, yaitu apa yang diistilahkan oleh sementara ulama dengan bayanta’kid dan bayan tafsir. Yang pertama sekadar menguatkan atau menggaris bawahi kembali apa yang terdapat di dalam al-quran, sedangkan yang kedua memperjelas,merinci, bahkan membatasi, pengertian lahir dari ayat-ayat al-quran.
Dalam Al-qur’an terdapat ayat yang secara tidak langsung telah memerintahkan kaum muslimin untuk mempersiapkan hari esok secara lebih baik yang terkandung dalam surat Al-hasr ayat 18 yang artinya :
Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan hendakla setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat) dan bertaqwalah kepada Allah sesunggunya Allah maha mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan.
Dalam kandungan ayat ini Rasulullah SAW menguraikannya dengan sabada beliau yang berbunyi “Sikap yang baik penuh kasih saying dan berlaku hemat adalah sebagian dari 24 kenabian” (H.r Tarmizi).
Nabi Muhammad SAW mengajarkan sikap hemat ini sebagai kiat untuk mengantisipasi kekurangan yang dialami oleh seseorang pada sewaktu-waktu.
Hal yang perlu diperhatikan adalah bersikap hemat tidak berate harus kikir dan bakhil ada perbedaan besar antara hemat dan kikir,hemat berate membeli untuk keperluan tertentu secukupnya dan tidak berlebihan ia tidak akan membeli atau mengeluarkan uang kepada hal-hal yang tidak perlu.Adapun kikir adalah sikap yang terlalu menahan dari belanja sehingga untuk keperluan sendiri yang pokok pun sedapat mungkin ia hindari apalagi memberikan kepada orang lain dengan kata lain ia berusaha agar uang yang dimilikinya tidak dikeluarkannya,tetapi berupaya agar orang lain memberikan uang kepadanya. Dalam halini rasulullah SAW melarang keras bagi kaum muslim berbuat kikir.[6]



BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Secara bahasa, kata al-hadis berasal dari kata hadatsa – yahdutsu – hadtsan – haditsan dengan pengertian yang bermacam,tetapi pada umumnya, para ulama mendefinisikan al-hadis dengan al-sunnah. Sunnah secara etimologi berarti cara atau jalan hidup yang biasa dipraktekkan, baik ataupun buruk. Secara terminologi, sunnah adalah segala sesuatu yang dinisbatkan (disandarkan) kepada Nabi saw., baik perkataan (qauli), perbuatan (fi’li), sikap/ketetapan (taqriri) maupun sifat fisik dan psikis Rasulullah saw, baik beliau sebelum menjadi nabi maupun sesudahnya.
Kedudukan hadis terhadap al-Quran ditunjukkan oleh fungsinya sebagai:
a. Bayan al-Ta’kid (Taqrir)

b. Bayan Tafsir
c. Bayan al-Taudhih
Hadits menguatkan hukum yang ditetapkan al-qur’an disini hadits berfungsi memperkuat dan memperkokoh hukum yang dinyatakan oleh alquran.Misalnya, al-quran menetapkan hukum puasa.


DAFTAR PUSTAKA


Qattan, Manna‘ Khalil., Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an, Kairo: Mansyurat al-‘Asr al-Hadis, 1973
Khatib, Muhammad ‘Ajaj al-., Ushul al-Hadis; Pokok-Pokok Ilmu Hadis, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2003
Abror, Indal., Kitab al-Umm Karya al-Syafi’i dan Posisinya dalam Kutub al-Sittah, (Tulisan di dalam “Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis” Vol. 5 No. 2), Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 2004
Yunus, Mahmud., ‘Ilm Mushthalah al-Hadis, Jakarta: Maktabah al-Sa’adiyah Futra, 1940
Shihab, M. Quraish., “Membumikan” al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1992
Khatib, Muhammad ‘Ajaj al-., Ushul al-Hadis; Pokok-Pokok Ilmu Hadis, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2003.





[1] Qattan, Manna‘ Khalil., Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an, Kairo: Mansyurat al-‘Asr al-Hadis, 1973,hal,74
[2] Khatib, Muhammad ‘Ajaj al-., Ushul al-Hadis; Pokok-Pokok Ilmu Hadis, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2003.hal,69


[3] Abror, Indal., Kitab al-Umm Karya al-Syafi’i dan Posisinya dalam Kutub al-Sittah, (Tulisan di dalam “Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis” Vol. 5 No. 2), Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 2004.hal.13
[4] Yunus, Mahmud., ‘Ilm Mushthalah al-Hadis, Jakarta: Maktabah al-Sa’adiyah Futra, 1940.hal,98


[5] Shihab, M. Quraish., “Membumikan” al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1992. Hal,210



[6] Khatib, Muhammad ‘Ajaj al-., Ushul al-Hadis; Pokok-Pokok Ilmu Hadis, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2003.hal,67




2 komentar:

 
Blogger Templates